Kementerian LHK Singgung Meningkatnya Jumlah Kejadian Bencana Hidrometeorologi
(KLHK) menyingung terjadinya peningkatan jumlah kejadian bencana hidrometeorologi yang sangat terkait dengan perubahan iklim seperti banjir, longsor,
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyingung terjadinya peningkatan jumlah kejadian bencana hidrometeorologi yang sangat terkait dengan perubahan iklim seperti banjir, longsor, kekeringan, kenaikan muka air laut dan kebakaran hutan.
Bencana-bencana ini tentu saja sangat merugikan dari segi aspek ekonomi, perekonomian, lingkungan hidup, kesehatan dan sendi-sendi kehidupan masyarakat bahkan menimbulkan banyak korban jiwa.
Oleh karena itu Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Laksmi Dhewanthi mengatakan bagiIndonesia adaptasi perubahan iklim sama pentingnya dengan mitigasi perubahan iklim.
Dia menjelaskan adaptasi perubahan iklim merupakan elemen yang sangat penting dan tidak terpisahkan dalam konteks pengendalian perubagan iklim di Indonesia.
“Adaptasi perubahan iklim sama pentingnya dengan mitigasi perubahan iklim,” ujar Lasmi Dhewanthi dalam Webinar ‘Mengurangi Emosi Karbon, Menyelamatkan Bumi,’ yang disiarkan di Channel Youtube Beritasatu, Kamis (22/4/2021).
Kegiatan ini dilakukan dalam rangka memperingati hari Bumi.
Dia mengatakan adaptasi perubahan iklim akan menjadi lebih mudah dan lebih ringan dilaksanakan bila sumber dari pemanasan global yaitu emisi gas rumah kaca dapat diturunkan oleh seluruh masyarakat dan negara dan masyarakat di dunia.
Baca juga: NASA Rencanakan Misi di Luar Nalar, Ingin Tabrakan Pesawat demi Cegah Asteroid Jatuh ke Bumi
Untuk itu Indonesia, lanjut dia, berkomitmen untk melaksanakan adaptasi serta mitigasi perubahan iklim dengan target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dengan usaha sendiri tanpa syarat dan sampai 41 persen dengan dukungan internasional.
Tercatat sektor kehutanan merupakan penyumbang penurunan emisi gas rumah kaca yang tertinggi yakni sebesar 17,2 persen. Kemudian sektor energi 11 persen, limbah 0,38 persen, pertanian 0,32 persen dan industri proses produksi 0,1 persen.
“Pencapaian target ini dilakukan melalui aksi-aksi yang dilaksanakan sejak tahun 2021 ini, karena memang The Paris Agreement atau komitmen emisi itu merupakan komitmen setelah 2020-2030. Jadi dimulai pada tahun ini,” jelasnya.
Penurunan emisi gas rumah kaca nasional yang telah terverifikasi pada 2018 dan dipublikasikan pada 2019 adalah sebesar 241,72 ton CO2 ekuivalen dengan kontribusi sektor kehutanan sebesar 68, 52 persen dari total penurunan emisi gas rumah kaca tersebut.
Berdasarkan ini, pemerintah menyusun dokumen peta jalan untuk kondisi mitigasi yang menjabarkan aksi-aksi penurunan emisi gas rumah kaca pada setiap sektor dan subsektor serta pihak-pihak yang terkait dalam pelaksanaannya.
Misalnya, di sektor kehutanan, rehabilitasi hutan dan lahan tidak hanya dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan maupun Dinas Kehutanan, tetapi juga oleh seluruh pemangku kepentingan, termasuk dunia usaha di kawasan hutan maupun di kawasan HPL.
Atau contoh lainnya, lanjut dia, pemenuhan target B30 yang sangat melibatkan peran dunia usaha mulai proses di perkebunan produksi minyak kelapa sawit, proses blending sampai dengan proses distribusi ke konsumen.