Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Deretan Upaya Pelemahan KPK, dari Revisi UU, Kontroversi Firli Bahuri hingga Tes Alih Status ASN

Simak deretan upaya yang diduga untuk melemahkan KPK, dari revisi UU KPK, kontroversi kepemimpinan Firli Bahuri hingga terbaru tes alih status ASN

Penulis: Inza Maliana
Editor: Arif Fajar Nasucha
zoom-in Deretan Upaya Pelemahan KPK, dari Revisi UU, Kontroversi Firli Bahuri hingga Tes Alih Status ASN
KOMPAS.com/DYLAN APRIALDO RACHMAN
Logo KPK. Simak deretan upaya yang diduga untuk melemahkan KPK, dari revisi UU KPK, kontroversi kepemimpinan Firli Bahuri hingga terbaru tes alih status ASN 

TRIBUNNEWS.COM - Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengatakan, deretan upaya untuk melemahkan KPK sudah dirancang dan dilakukan secara runtut.

Mulai dari revisi undang-undang KPK, kontroversi kepemimpinan Firli Bahuri serta perubahan status kepegawaian independen menjadi ASN.

Terbaru, tidak lulusnya 75 pegawai KPK dalam tes wawasan kebangsaan untuk beralih status menjadi ASN yang menuai polemik.

Sebab, puluhan pegawai tersebut merupakan penyidik senior dan berintegritas, seperti di antaranya Novel Baswedan.

"ICW beranggapan ketidaklulusan sejumlah pegawai KPK saat mengikuti tes wawasan kebangsaan telah dirancang sebagai bagian untuk menghabisi dan membunuh KPK," kata Kurnia dalam tayangan Youtube Kompas TV, Jumat (8/5/2021).

"Sinyal untuk dibabat habis tersebut sebenarnya sudah jelas dan runtut. Mulai dari revisi Undang-undang KPK."

"Problematika dan kontroversinya komisioner KPK yang baru dan terakhir menyingkirkan penggawa-penggawa KPK dari gelanggang," tambah Kurnia.

Berita Rekomendasi

Lantas, benarkah persoalan tersebut merupakan upaya pelemahan KPK?

Baca juga: ICW: Ketidaklulusan Pegawai KPK Dalam Tes ASN Sudah Dirancang Sejak Awal

Berikut Tribunnews.com rangkum deretan kasus yang disebut ICW sebagai upaya melemahkan KPK:

1. Upaya Pelemahan KPK Dimulai dari Revisi UU KPK

Pada Kamis (17/9/2019) lalu, DPR mengetuk palu untuk merevisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).

Padahal, rancangan revisi UU tersebut menuai berbagai polemik karena berujung pada pelemahan KPK.

Ada beberapa poin dalam revisi UU KPK yang melemahkan KPK, seperti KPK yang tidak lagi independen dan juga adanya pembentukan dewan pengawas KPK.

Bahkan, KPK juga tidak lagi bebas untuk 'menyadap' koruptor karena harus memiliki izin terlebih dahulu dari dewan pengawas.

Dikutip dari Kompas.com, salah satu poin revisi UU KPK mengatur tentang kedudukan KPK yang berada pada cabang eksekutif.

Disahkannya UU ini membuat KPK menjadi lembaga pemerintah, padahal status KPK selama ini bukan bagian dari pemerintah, melainkan lembaga ad hoc independen.

Artinya, pegawai KPK ke depan akan berstatus sebagai aparatur sipil negara (ASN) dan mereka harus tunduk pada Undang-Undang ASN.

2. Kontroversi Kepemimpinan Firli Bahuri

ICW menilai, 100 hari pertama kepemimpinan Firli Bahuri sebagai Ketua KPK pada Maret 2020 lalu sangat minim prestasi.

Menurutnya, kepemimpinannya justru lebih banyak diwarnai kontroversi ketimbang menunjukkan kinerja yang lebih baik dari periode sebelumnya.

"Alih-alih menunjukkan kinerja yang lebih baik dari periode sebelumnya, justru yang dihasilkan adalah berbagai kontroversi."

"Karena itu pula, kepercayaan publik terhadap KPK turun drastis," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam siaran pers, Senin (23/3/2020).

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Firli Bahuri memberikan keterangan pers terkait Operasi Tangkap Tangan (OTT) Gubernur Sulawesi Selatan, Nurdin Abdullah oleh KPK, di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Minggu (28/2/2021) dini hari. Pada konferensi pers tersebut, KPK menyatakan telah menetapkan Gubernur Sulawesi Selatan, Nurdin Abdullah sebagai tersangka kasus proyek pembangunan infrastruktur karena diduga menerima gratifikasi atau janji. Selain Nurdin Abdullah, KPK juga menetapkan tersangka kepada Sekdis PUPR Sulsel, Edy Rahmat (ER) sebagai penerima dan Agung Sucipto (AS) selaku pemberi. Tribunnews/Jeprima
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Firli Bahuri memberikan keterangan pers terkait Operasi Tangkap Tangan (OTT) Gubernur Sulawesi Selatan, Nurdin Abdullah oleh KPK, di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Minggu (28/2/2021) dini hari. Tribunnews/Jeprima (Tribunnews/Jeprima)

ICW mencatat setidaknya ada tujuh kontroversi yang mencuat ke publik.

Seperti kegagalan menangkap Harun Masiku dan Nurhadi, polemik pengembalian Kompol Rossa ke Mabes Polri, dan penghentian penyelidikan 36 kasus dugaan korupsi.

ICW juga mengkritik menurun drastisnya jumlah penindakan KPK di bawah komando Firli.

Terakhir, ICW juga mengkritik pimpinan KPK yang rajin bersafari ke sejumlah lembaga, termasuk tiga kali bertemu dengan DPR.

Menurut ICW, hal itu menunjukkan bahwa Firli cs tidak memahami pentingnya menjaga independensi KPK.

3. Polemik Tes Wawasan Kebangsaan hingga Ancaman Pemecatan

Terbaru, isu 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang terancam dipecat karena tidak lulus tes wawasan kebangsaan (TWK) ramai diperbincangkan publik.

KPK pun membenarkan, sebanyak 75 pegawai tidak memenuhi syarat untuk menjadi aparatur sipil negara (ASN) setelah melakukan asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK).

Adapun, tes tersebut dilakukan dalam rangka pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN oleh Badan Kepegawaian Negara Republik Indonesia (BKN RI).

Baca juga: Nama Pegawai KPK Tak Lolos ASN Tersebar, Firli Bahuri: Silakan Tanya Siapa yang Menebar

"Pegawai yang tidak memenuhi syarat (TMS) sebanyak 75 orang," kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Rabu (5/5/2021), dilansir Tribunnews.

Ghufron menjelaskan, sebanyak 1.351 pegawai KPK mengikuti asesmen TWK sejak 18 Maret sampai 9 April 2021, tetapi dua orang di antaranya tidak hadir pada tahap wawancara.

Menurut Ghufron, berdasarkan landasan hukum dalam UU KPK, syarat yang harus dipenuhi pegawai KPK agar lulus asesmen TWK untuk menjadi ASN harus setia dan taat pada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, NKRI, dan Pemerintah yang sah.

Serta tidak terlibat kegiatan organisasi yang dilarang pemerintah dan atau putusan pengadilan.

"Memiliki integritas dan moralitas yang baik," tambah Ghufron.

Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron (Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama)

Meski tidak lulus TWK, Sekretaris Jenderal KPK, Cahya H Harefa mengaku tak akan memecat ke-75 pegawai KPK itu.

Cahya mengatakan, pihaknya akan mengoordinasikan status ke-75 pegawai tersebut dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) dan Badan Kepegawaian Negara (BKN).

Baca juga: WP KPK: Asesmen TWK Berpotensi Jadi Alat Singkirkan Pegawai Berintegritas

"KPK akan melakukan koordinasi dengan KemenPANRB dan BKN terkait tindak lanjut terhadap 75 pegawai yang dinyatakan tidak memenuhi syarat," kata Cahya di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Rabu (5/5/2021), dilansir Tribunnews.

Menurut informasi, di antara 75 pegawai KPK tersebut, ada nama-nama besar yang tidak lolos.

Seperti nama Penyidik KPK, Novel Baswedan; Ketua wadah Pegawai KPK, Yudi Purnomo; serta Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi, Giri Suprapdiono.

Sementara, Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Adnan Topan Husodo mengatakan, kalau isu ini tidak menjadi ramai, maka sudah ada pemecatan diam-diam oleh KPK.

"Kalau tidak kita ramaikan mungkin sebenarnya sudah ada pemecatan diam-diam yang dilakukan oleh KPK," kata Topan, dalam tayangan Kompas TV, Kamis (6/5/2021).

Topan menilai, proses alih status pegawai KPK menjadi ASN ini merupakan ujung tombak dari seluruh kebijakan politis untuk melemahkan KPK.

Sebab, selama ini KPK merupakan badan antikorupsi independen, termasuk pegawainya juga independen.

Baca juga: KPK Bantah Pecat Pegawai yang Tak Lolos Tes ASN, Koordinasi akan Dilakukan dengan KemenPANRB dan BKN

"Kita tahu selama ini syarat menjadi badan antikorupsi yang independen ada dua, kelembagaannya independen dan pegawainya independen."

"Inilah yang sebenarnya pemerintah dan DPR dalam hal ini telah melanggar ketentuan yang ada di UNCAC sebagai sesuatu konvensi yang sudah kita ratifikasi sejak 2006," ungkap Topan.

Topan juga mencurigai dari sisi kejanggalan soal-soal yang keluar dalam TWK.

Menurutnya, ada beberapa soal yang justru tidak perlu dimunculkan dan tidak ada keterkaitan dengan wawasan kebangsaan seseorang.

Koordinator ICW, Adnan Topan Husodo
Koordinator ICW, Adnan Topan Husodo (Channel YouTube KOMPASTV)

"Dari pengakuan teman-teman yang tes, ditanya apakah ada kebijakan pemerintah yang merugikan masyarakat."

"Bagi yang jujur mengatakan itu adalah kebijakan yang merugikan masyarakat, tetapi mungkin karena kejujurannya dianggap salah," jelas Topan.

"Soal yang muncul itu yang tidak perlu dimunculkan, seperti ketika salat pakai qunut atau tidak, itu kan tidak relevansinya," tambahnya.

Lebih lanjut, Topan menyarankan, seharusnya KPK bisa menggunakan bank soal yang dimiliki oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia (Kemen PAN-RB).

Baca juga: Firli Bahuri: Tidak Ada Niat Mengusir Insan KPK Dari Lembaga

Untuk itu, Topan sangat menyayangkan proses tes yang dilakukan KPK tidak melibatkan Kemen PAN-RB.

Terlebih, menurut Topan, pengalihan status dari pegawai ke ASN ini berbeda dengan yang diatur dalam UU No 5 Tahun 14.

"Konteks dari pengalihan status ini berbeda dengan proses recruitment calon pegawai sipil menjadi pegawai sipil sebagaimana diatur UU no 5 thn 14 tentang ASN."

"Jadi saya kira ini dua treatment yang berbeda," pungkasnya.

(Tribunnews.com/Maliana/Ilham Rian Pratama, Kompas.com/Ardito Ramadhan/Fitria Chusna)

Simak berita lain terkait Komisi Pemberantasan Korupsi

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas