Sintong Panjaitan Terpaksa Tinggalkan Kuliah di AS Gegara Gugatan Rp 12 Miliar
Sintong Panjaitan melanjutkan kuliah hukum di Amerika Serikat pasca dicopot dari militer. Namun gagal meraih titel karena menghadapi gugatan Rp 12.
Penulis: Febby Mahendra
Editor: cecep burdansyah
TRIBUNNEWS.COM - INSIDEN penembakan di Pemakaman Santa Cruz , Kota Dili, Timor Timur (kini Negara Timor Leste), pada 12 November 1991, tak pernah dapat dilupakan oleh Sintong Hamongan Panjaitan. Jabatan terakhir Sintong sebelum pensiun yaitu Penasihat Bidang Hankam Presiden BJ Habibie (Mei 1998-Oktober 1999).
Perwira tinggi TNI tersebut pada saat itu menyandang pangkat bintang dua dan menjabat Pangdam IX/Udayana yang wilayah kerjanya saat itu meliputi Provinsi Bali, NTB, NTT, dan Timor Timur. Dalam peristiwa Santa Cruz, ada berbagai macam versi mengenai jumlah korban.
Menurut Komando pelaksana Operasi Timor Timur, jumlah korban tewas 19 orang dan 91 menderita luka-luka. Sedang data yang dikumpulkan Komisi Penyidik Nasional (KPN) yang diketuai Hakim Agung Mayjen TNI M Djaelani, jumlah korban tewas bervariasi antara 50, 60, atau 100 orang.
Ketidakpastian jumlah korban itu bisa saja terjadi karena ada kemungkinan orang yang terlibat dalam demonstrasi prokemerdekaan Timor Timur kemudian melarikan diri atau masuk hutan sehingga dianggap hilang atau tewas.
Akibat insiden Santa Cruz Sintong dicopot dari jabatannya dan dinyatakan ikut bersalah. Namun persoalan belum selsesai sampai di situ.
Ketika Sintong kuliah di Boston University, Amerika Serikat, tiba-tiba di siang hari ia didatangani polisi yang menyampaikan surat panggilan dari Pengadilan Distrik Massachusset, tertanggal 17 September 1992. Surat panggilan itu dibuat setelah ada gugatan dari Kantor Pengacara Kaplan, O’Sullivan & Friedman yang menjadi kuasa hukum Ny Helen Todd.
Ny Helen Todd merupakan ibu dari Kamal Bamadhaj, penerjemah Bob Muntz, petugas LSM Community Aid Abroad, Australia, yang berkantor di Kota Dili. Bamadhaj tercatat sebagai satu di antara korban tewas dalam insiden Santa Cruz.
Korban tercatat sebagai mahasiswa University of News South Wales, Australia, berkewarganegaraan Selandia Baru. Ia mengambil mata kuliah Bahasa Indonesia, sejarah, dan politik Asia. Dalam aksi demonstrasi kelompok pro-kemerdekaan Timor Timur, Bamadhaj maupun Bob Muntz selalu berada di tengah-tengah massa.
Awalnya, Ny Helen Todd minta jenazah anaknya dikembalikan kepada pihak keluarga. Sintong memenuhi permintaan itu dan memerintahkan agar jenazah yang sudah dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Hera, Dili, digali dan diterbangkan ke Denpasar.
Selanjutnya jenazah diserahkan kepada pihak keluarga disakikan pejabat Kedutaan Besar Selandia Baru di Indonesia. Selanjutnya jenazah diterbangkan ke Malaysia.
Dalam surat panggilan yang diterima Sintong terdapat tiga tuduhan yaitu:
1. Sintong dituduh mengakibatkan tewasnya Kamal Bamadhaj sehingga harus membayar ganti rugi 10 juta dolar AS
2. Sintong bertanggungjawab terhadap penyerangan dan penganiayaan fisik serta psikologis sehingga harus membayar ganti rugi 1 juta dolar AS
3. Sintong bertanggungjawab terjadinya kesewenang-wenangan secara sengaja sehingga dituntut membayar ganti rugi 2 juta dolar AS.
Baca juga: Prajurit Kopassus Sintong Panjaitan Dikepung Warga Lembah X Pegunungan Jaya Wijaya Papua
Tinggalkan bangku kuliah
Secara keseluruhan tuntutan ganti rugi berjumlah 13 juta dolar AS atau pada saat itu setara lebih dari Rp 12 miliar. “Bagaimana saya harus membayar ganti rugi terhadap korban tewas dalam inisden 12 November di Dili sebesar itu? Padahal, saya sudah berusaha keras untuk mencegahnya,” ujar Sintong Panjaitan yang dikutip Tribunnews.com dari buku ‘Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando’, karya Hendro Subroto, Penerbit Buku Kompas, Maret 2009.
Profesor Papanex, dosen pembimbing Sintong di Boston University, juga pernah menjadi guru besar di Universitas Indonesia (UI), menjelaskan mengenai undang-undang yang menyangkut pelanggaran hak asasi manusia di era pemerintahan Presiden George HW Bush (Bush senior).
Ada sebuah pasal yang menyebutkan jika terjadi perbuatan pelanggaran hak asasi manusia dan pelakunya berada di Amerika Serikat, maka ia dapat dituntut secara perdata. Setelah menerima surat panggilan itu Sintong menghubungi Duta Besar RI di Washington DC.
Laporan Sintong kemudian diteruskan kepada Menko Polkam Sudomo di Jakarta. Setelah mempelajari laporan itu, Sudomo memutuskan memanggil pulang pria kelahiran Tarutung, Sumatera Utara tersebut.
Selanjutnya Panglima ABRI, saat itu dijabat Jenderal TNI Try Soetrisno, lewat sambungan telepon memberi perintah serupa.
“Tong kamu pulang sekarang . Kamu nggak usah ke mana-mana. Kamu langsung pulang saja ke sini,” ujar Panglima ABRI.
Tak pelak Sintong segera pulang ke tanah air dan meninggalkan bangku kuliah hukum yang sudah dijalani selama satu tahun. Keberadaan Sintong di Boston University sebenarnya merupakan persiapan untuk menempuh kuliah non-degree dalam mata kuliah National & Internastional Security di Havard University.
Profesor Papanex sebenarnya memberi saran agar Sintong tidak usah balik ke Indonesia, karena tuntutan perdata menyangkut martabat diri pribadi Sintong dan negara. Menurutnya, kasus itu akan menjadi kasus hukum yang menarik di Amerika Serikat.
Papanex bahkan menyanggupi akan menyediakan pengacara bagi Sintong. Namun Sintong tetap harus pulang. “Saya masih tetap seorang tentara,” ujar Sintong ketika pamit kepada sang guru besar tersebut. (*)
*Dikutip dari buku ‘Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando’, karya Hendro Subroto, Penerbit Buku Kompas, Maret 2009.
Baca juga: Dari Pencopotan KSAL Laksamana Sucipto hingga Kasum TNI Letjen Suaidi