Pasal Penghinaan Presiden dan DPR di RUU KUHP: Menkumham Anggap Lumrah, PSI Menolak
Pasal penghinaan presiden dalam pembahasan RUU KUHP menjadi pro dan kontra, Menkumham anggap lumrah hingga PSI menolak
Penulis: Facundo Chrysnha Pradipha
Editor: Tiara Shelavie
TRIBUNNEWS.COM - Rancangan Undang-undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU-KUHP) terbaru masih menjadi bahasan dalam rapat antara Komisi III DPR RI dan Menkumham Yasonna Laoly.
Satu dari beberapa delik pasal yang menjadi perhatian adalah penghinaan presiden dan DPR dalam RUU KUHP.
Pro dan kontra mencuat dalam bahasan tersebut.
Menkumham menganggap aturan yang mengatur, tindak penghinaan terhadap presiden contohnya, telah diterapkan di beberapa negara.
Sementara, Ketua DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Tsamara Amany, menolak masuknya delik tersebut dalam RUU KUHP dengan alasan kebebasan berpendapat.
Baca juga: Dinilai Berpotensi Mengganggu Kebebasan Pers, AJI Minta Pemerintah Hapus Pasal 281 RUU-KUHP
Di sisi lain, usulan dari politikus Gerindra muncul untuk mengalihkan pasal penghinaan presiden ke ranah perdata.
Inilah fakta-fakta yang dirangkum Tribunnews.com terkait bahasan pasal penghinaan presiden dan DPR dalam RUU KUHP.
Penjelasan Yasonna
Diberitakan Tribunnews.com, Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly mengungkap alasan dimasukkannya pasal penghinaan presiden di RUU KUHP adalah agar masyarakat tak menjadi liberal.
Menurut Yasonna, pasal semacam itu sudah lumrah diterapkan di beberapa negara, seperti Thailand dan Jepang.
"Saya kira kita menjadi sangat liberal kalau membiarkan (penghinaan terhadap presiden, - red). Tadi dikatakan, kalau di Thailand malah lebih parah, jangan coba-coba menghina raja itu urusannya berat. Bahkan di Jepang atau di beberapa negara (pasal) itu hal yang lumrah. Nggak bisa kalau kebebasan sebebas-bebasnya, itu bukan kebebasan, itu anarki," ujar Yasonna, dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR RI, Rabu (9/6/2021).
Yasonna juga menegaskan bahwa pasal ini berbeda dengan yang telah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi.
Baca juga: Raker dengan Komisi III, Menkumham Sebut RUU KUHP Direspon Positif Masyarakat
Melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006, MK diketahui pernah membatalkan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Menurutnya, pasal penghinaan presiden dalam RUU KUHP merupakan delik aduan. Selain itu, pasal itu ditujukan bukan bagi mereka yang memberikan kritik, melainkan bagi mereka yang menyerang harkat dan martabat presiden.
Dia mencontohkan tak masalah jika dirinya dikritik tak becus mengemban tugas sebagai Menkumham. Namun dirinya tak akan diam jika diserang harkat dan martabatnya.
"Kalau saya dikritik, Menkum HAM tak becus, lapas, imigrasi that's fine with me, tetapi kalau sekali menyerang harkat dan martabat saya. Misalnya saya dikatakan anak haram, wah itu di kampung saya enggak bisa itu. Anak PKI-lah, tunjukan pada saya kalau saya anak PKI, kalau enggak bisa gua jorokin lu," jelasnya.
Lebih lanjut, dia menegaskan pasal ini tak hanya ditujukan untuk melindungi harkat dan martabat presiden saat ini, namun juga presiden di masa yang akan datang.
"Kita tahu lah, presiden kita sering dituduh secara personal dengan segala macam isu itu, dia tenang-tenang saja. Beliau mengatakan kepada saya tidak ada masalah dengan pasal itu," kata Yasonna.
"Tapi, apakah kita biarkan presiden yang akan datang digitukan? Harus ada batas-batas yang harus kita jaga sebagai masyarakat Indonesia yang berkeadaban," katanya.
PSI Menolak
Artikel lain Tribunnews.com mengabarkan, Partai Solidaritas Indonesia (DPP PSI) menyesalkan dan menolak masuknya delik penghinaan presiden dan DPR dalam Rancangan Undang-undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU-KUHP).
“Pasal penghinaan Presiden dan DPR dalam RUU-KUHP mencederai esensi demokrasi, yaitu kebebasan berpendapat. Pasal tersebut punya potensi menjadi pasal karet yang menghambat diskursus publik yang sehat,” kata Ketua DPP PSI, Tsamara Amany, dalam keterangan tertulis, Selasa (8/6/2021).
PSI tak melihat relevansi pasal-pasal semacam itu diterapkan di era demokrasi saat ini.
Indonesia justru akan mundur puluhan tahun jika menerapkannya.
“Kalau dalam konteks pasal penghinaan Presiden, Pak Jokowi dari dulu biasa difitnah, tapi beliau selalu menjawab dengan kerja. Kritik seharusnya dibalas dengan kerja, bukan ancaman penjara. Itu pula yang seharusnya dilakukan DPR. Kalau ada yang mengkritik DPR, tunjukkan dengan perbaikan kinerja,” lanjut mahasiswa S2 New York University tersebut .
Lebih jauh, kata Tsamara, sebaiknya DPR mengkaji ulang dan menghapus pasal-pasal ini dari RUU KUHP.
Usul Dialihkan Perdata
Sementara anggota Komisi III DPR RI Fraksi Gerindra, Habiburokhman mengusulkan agar sebaiknya pasal penghinaan presiden dialihkan ke ranah perdata, bukan ranah pidana.
"Ini terkait substansi, saya ini pak pegel juga selalu ditanyakan pasal 218 RUU KUHP, penghinaan presiden. Saya sendiri dari dulu, dari mahasiswa paling benci ini pasal," ujar Habiburokhman dalam rapat kerja Komisi III DPR RI dengan Menkumham, Rabu (9/6/2021) diberitakan Tribunnews.com.
"Saya rasa kalau saya ditanya, baiknya ini dialihkan ke ranah perdata saja. Jadi penyelesaiannya ke arah perdata sehingga tidak melibatkan kepolisian dan kejaksaan yang berperan rumpun eksekutif," imbuhnya.
Politikus Gerindra itu mengungkap pasal penghinaan presiden ini sebaiknya dibawa ke ranah perdata sehingga tidak melibatkan kepolisian dan kejaksaan dalam menangani perkara tersebut.
Karena, kata Habiburokhman, kedua institusi itu berada di rumpun eksekutif, sehingga dapat digunakan untuk melawan orang yang berseberangan dengan kekuasaan.
"Selama ini masih dalam ranah pidana, tujuan bahwa pasal ini digunakan untuk melawan atau menghabiskan orang yang berseberangan dengan kekuasaan akan terus timbul seobjektif apapun proses peradilannya," jelas Habiburokhman.
"Karena apa? Karena kepolisian dan kejaksaan itu masuk dalam rumpun eksekutif, jadi kaitannya itu," imbuhnya.
Berita lainnya terkait RUU KUHP
(Tribunnews.com/ Chrysnha, Vincentius Jyestha, Lucius Genik)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.