Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Fraksi PKS Tolak Komersialisasi Vaksin Covid-19

Fraksi PKS (FPKS) menolak rencana pemerintah menyediakan layanan vaksin berbayar.

Penulis: Chaerul Umam
Editor: Sanusi
zoom-in Fraksi PKS Tolak Komersialisasi Vaksin Covid-19
Tribunnews.com/Rizki Sandi Saputra
ilustrasi 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Fraksi PKS (FPKS) menolak rencana pemerintah menyediakan layanan vaksin berbayar.

Dalam kondisi darurat seperti sekarang pemerintah harusnya memberikan layanan gratis kepada semua masyarakat. Bukan malah menambah beban masyarakat.

Wakil Ketua FPKS DPR RI Mulyanto menegaskan alasan pemerintah membuat kebijakan itu sangat tidak rasional.

Baca juga: Soal Vaksin Berbayar, Stafsus Menteri BUMN Bantah Ingin Habiskan Jatah Vaksin agar Tak Merugi

Menurut Mulyanto, jika ingin mempercepat herd immunity harusnya pemerintah memperbanyak titik layanan vaksinasi secara massif di puskesmas, klinik, kalau perlu di kantor-kantor kelurahan, kantor RW dan posyandu. Bukan dengan mudahnya membuka layanan vaksin komersial bagi sebagian masyarakat.

"Karena secara prinsip vaksinasi adalah tanggung-jawab pemerintah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Pemerintah tidak boleh lepas dari tanggung-jawab tersebut," kata Mulyanto kepada wartawan, Senin (12/7/2021).

Baca juga: Tolak Vaksin Individu Berbayar, YLKI: Tidak Etis

"Jangan sampai masyarakat yang tidak mampu terpaksa harus membeli vaksin mandiri ini. Bansos yang Rp 300 ribu per bulan per keluarga tidak sebanding dengan harga vaksin Sinopharm yang lebih dari Rp 300 ribu per dosis, apalagi kalau harus disuntik dua kali untuk dosis lengkap," imbuhnya.

Berita Rekomendasi

Selain itu Mulyanto khawatir setelah program vaksin berbayar ini dilaksanakan, kuota vaksin gratis bukannya ditingkatkan, tetapi perlahan-lahan berkurang. Padahal target sebaran vaksinasi sudah ditetapkan dan anggarannya sudah disiapkan.

Tambahan lagi, kebijakan ini rentan dimanipulasi pihak yang mencari keuntungan, dengan mengalihkan vaksin gratis menjadi vaksin berbayar. Akibatnya, vaksin gratis menjadi langka.

Karena itu daripada pemerintah repot memikirkan sistem pengawasan distribusi vaksin gratis secara ketat, lebih baik kebijakan dualisme vaksin ini dibatalkan.

Baca juga: YLKI Apresiasi Inisiatif BUMN Sediakan Obat dan Oksigen untuk Pasien Covid-19

Menurutnya, walaupun jenis vaksin antara program mandatori dan program mandiri berbeda, namun dalam praktiknya masyarakat tidak bisa melihat dan membedakan kedua jenis vaksin tersebut.

"Modus tersebut sangat mungkin dan kerap terjadi untuk komoditas lain, khususnya barang subsidi, seperti gas melon 3 kilogram, pupuk subsidi, atau solar, dimana komoditas subsidi dialihkan menjadi komoditas komersial," ucapnya.

"Ujung-ujungnya, karena vaksin gratis menjadi langka, maka rakyat terpaksa mengikuti vaksin berbayar. Ini kan bahaya. Akan merugikan rakyat," lanjutnya.

Selain itu, Mulyanto, yang Anggota Komisi VII DPR RI, menyarankan sebaiknya pemerintah fokus mempercepat riset dan produksi vaksin Merah Putih, yang tengah dikembangkan Konsorsium Riset Covid di bawah koordinasi BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional), sebagai instrumen mencapai herd immunity masyarakat. Pemerintah jangan terlalu mengandalkan vaksin impor.

Selama ini Mulyanto melihat pemerintah terkesan adem-adem dan membiarkan riset vaksin inovasi domestik ini berjalan bisnis as usual. Tidak seperti sikap pemerintah terhadap vaksin impor.

Padahal penggunaan vaksin Merah Putih sangat penting sebagai upaya untuk membangun keunggulan SDM dan kemampuan inovasi domestik. Dengan demikian Indonesia tidak tergantung pada vaksin impor dan sekedar menjadi pasar bisnis vaksin semata.

"Sayang anggaran dari utang yang terbatas ini terkuras habis untuk membeli puluhan juta vaksin impor," kata Mulyanto.

Mulyanto prihatin saat ini dana untuk riset vaksin di LBM Eijkman tidak lebih dari 10 M. Angka ini jauh dari memadai, apalagi kalau dibandingkan dengan dana untuk impor vaksin yang ratusan triliun rupiah.

Seharusnya pemerintah mengalokasikan dana riset yang cukup, sehingga vaksin Merah Putih dapat diproduksi lebih awal.

"Tapi nyatanya, dalam RDP Komisi VII DPR RI dengan Konsorsium Riset Covid-19 terakhir dilaporkan, bahwa produksi Vaksin Merah Putih mundur, disebabkan karena BUMN Bio Farma tidak siap kalau vaksin tersebut didasarkan pada protein rekombinan mamalia," ujarnya.

Fasilitas produksi BUMN Bio Farma, lanjut Mulyanto, hanya siap kalau vaksin yang dikembangkan berbasis protein rekombinan ragi (yeast).

Karenanya terpaksa LBM Eijkman harus banting setir mulai dari nol lagi untuk mengembangkan riset vaksin berbasis ragi.

"Kalau poco-poco seperti ini terus, kita jadi pesimis. Sampai kapan Vaksin Merah Putih dapat diproduksi dan didistribusikan kepada masyarakat," pungkas Mulyanto.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas