Terbukti Jadi Pelaku Utama pada Kasus Suap Perkara Peradilan, Hakim Tolak JC Rohadi
Hakim menolak permohonan Justice Collaborator (JC) yang diajukan eks panitera pengganti Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Rohadi.
Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menolak permohonan Justice Collaborator (JC) yang diajukan eks panitera pengganti Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Rohadi.
Rohadi selaku terdakwa penerima suap, gratifikasi dan TPPU tak memenuhi syarat JC sebagaimana bunyi Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011.
"Majelis Hakim menyimpulkan bahwa terdakwa tidak memenuhi syarat kumulatif sebagai JC dalam pokok perkara tipikor dan TPPU yang dalam konteks ini, tipikor merupakan tindak pidana asal atau predicat crime adanya TPPU," kata Ketua Majelis Hakim Albertus Usada di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (14/7/2021).
Dalam SEMA 4/2011 Pasal 9 huruf a dijelaskan bahwa syarat pemberian JC ialah terdakwa merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu, mengakui kejahatannya, bukan pelaku utama, dan telah memberi keterangan yang sangat dibutuhkan sebagai saksi untuk mengungkap pelaku lain dalam proses pengadilan.
Sementara dalam perkara ini dan berdasarkan fakta hukum yang terungkap dalam persidangan, Rohadi adalah pelaku utama. Hakim juga menilai tidak ada pelaku utama lainnya kecuali terdakwa.
Baca juga: Terbukti Terima Suap Urus Perkara Hingga TPPU, PNS Tajir Rohadi Divonis 3 Tahun 6 Bulan Penjara
Hal tersebut terbukti sebagaimana dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam dakwaan kesatu.
Sehingga permohonan JC terdakwa dianggap tak beralasan menurut hukum.
"Permohonan terdakwa sebagai JC tidak beralasan menurut hukum, oleh karena itu harus ditolak," tegas hakim.
Meski begitu, lantaran Rohadi telah bersikap kooperatif, menerangkan fakta atas dakwaan jaksa, dan mengakui perbuatannya, maka Majelis Hakim memasukkan hal - hal itu ke dalam pertimbangan untuk keadaan meringankan.
Vonis Pengadilan Tipikor Jakarta
Dalam putusan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, Rohadi divonis 3,5 tahun penjara dan denda Rp300 juta subsider 4 bulan kurungan.
Ia terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan sejumlah tindakan korupsi sebagaimana dakwaan jaksa penuntut umum dalam dakwaan kesatu, subsider kedua, ketiga, dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) pada dakwaan keempat.
Rohadi yang disebut sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) tajir ini terbukti melanggar sejumlah pasal. Antara lain Pasal 12 huruf a, Pasal 11, Pasal 12 B Undang - Undang Tindak Pidana Korupsi, dan Pasal 3 Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP Jo pasal 65 ayat (1) KUHP.
Dalam penjatuhan putusannya, majelis menimbang hal memberatkan dan meringankan.
Untuk hal memberatkan, Majelis Hakim menyatakan perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan KKN.
Sedangkan hal meringankan, terdakwa bersikap kooperatif selama menjalani proses peradilan, terdakwa juga dinilai sudah berterus terang dalam memberi keterangan di persidangan. Terdakwa juga telah menyatakan mengakui bersalah, dan terdakwa saat ini menjadi tulang punggung keluarga.
"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa tersebut oleh karena itu dengan pidana penjara selama 3 tahun dan 6 bulan dan pidana denda Rp300 juta subsider 4 bulan," kata Ketua Mejelis Hakim Albertus Usada membacakan putusan.
Perkara dan Dakwaan Jaksa
Dalam perkara ini, PNS Mahkamah Agung (MA) Rohadi didakwa menerima suap dengan total Rp4.663.500.000 (Rp4,6 miliar), kemudian gratifikasi dengan nilai Rp11.518.850.000 (Rp11,5 miliar).
Uang - uang itu diperuntukan sebagai ongkos mengurus sejumlah perkara di lembaga peradilan, baik di tingkat banding maupun kasasi di Mahkamah Agung (MA).
Rohadi menerima suap dalam jabatannya selaku panitera pengganti sebesar Rp1.210.000.000 dari Robert Melianus Nauw dan Jimmy Demianus Ijie, yang diterima melalui perantaraan Sudiwardono terkait pengurusan perkara.
Kemudian ia juga menerima suap dalam jabatannya selaku panitera pengganti, masing-masing dari Jeffri Darmawan melalui perantaraan Rudi Indawan sebesar Rp110 juta, dari Yanto Pranoto melalui perantaraan Rudi Indawan sebesar Rp235 juta, dari Ali Darmadi sebesar Rp1.608.500.000, serta dari Sareh Wiyono sebesar Rp1,5 miliar terkait pengurusan perkara.
Rohadi lantas menerima gratifikasi dalam jabatannya selaku panitera pengganti, dengan jumlah total sebesar Rp11.518.850.000 yang ditransfer oleh pihak-pihak lain.
Sedangkan terkait perkara Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), Rohadi didakwa mencuci uang hasil suapnya sejumlah Rp40.598.862.000 (Rp40,5 miliar).
Tindakan TPPU yang dilakukan berupa menukarkan uang (valas), menempatkan dan mentransfer di rekening, membelanjakan untuk pembelian sejumlah properti tanah dan bangunan, serta mobil, maupun perbuatan lain dalam rangka menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaannya hasil dari tindak pidana korupsi yang dilakukannya.