Novel Baswedan: Ombudsman Berani dan Jujur, Jauh Berbeda dengan Dewan Pengawas KPK
Penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan angkat bicara mengenai perbedaan pandangan antara Ombudsman dan Dewan Pengawas KPK.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Johnson Simanjuntak
Perbedaan kedua adalah mengenai proses pelaksanaan TWK. Dewas menerangkan bahwa alat ukur yang digunakan dalam TWK adalah Tes IMB - 68 (68 pertanyaan) dan Integritas dalam pertanyaan tertutup yang dilaksanakan oleh Dinas Psikologi Angkatan Darat (DISPSIAD) dan Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI.
Sebelum IMB 68 diputuskan sebagai salah satu alat ukur dalam TWK, BKN melakukan rapat dengan mengundang BNPT dan Dinas Psikolog AD untuk membahas lebih lanjut dari seluruh komponen tes dan memastikan bahwa tes tersebut tepat untuk digunakan.
Berdasarkan hasil rapat tersebut, Kepala BKN memutuskan IMB 68 kemudian menjadi salah satu alat ukur yang digunakan untuk melakukan TWK.
Sedangkan menurut Ombudsman BKN tidak memiliki alat ukur, instrumen, dan aseseor untuk melaksanakan asesmen tersebut. BKN hanya menggunakan instrumen yang dimiliki DISPSIAD namun tidak memiliki atau menguasai salinan dokumen Keputusan Panglima Nomor Kep/1078/XII/2016 yang mengatur petunjuk pelaksanaan penelitian tersebut.
Apalagi, menurut Ombudsman, Nota Kesepahaman Pengadaan Barang dan Jasa antara Sekjen KPK dan Kepala BKN ditandatangani pada 8 April 2021 sedangkan kontrak Swakelola pada 25 April 2021. MoU dan kontrak itu dibuat dengan tanggal mundur (back date) menjadi 27 Januari 2021.
Padahal asesmen TWK dimulai pada 9 Maret 2021 yaitu sebelum adanya penandatanganan nota Kesepahaman dan Kontrak Swakelola.
Perbedaan ketiga adalah dalam proses penetapan hasil. Dewas KPK berpendapat pimpinan KPK tidak dapat mengusulkan pengangkatan pegawai KPK menjadi ASN kepada BKN untuk memperoleh Nomor Induk Pegawai (NIP) tanpa mendapatkan penetapan formasi dari Kemenpan RB.
Dengan demikian tidak benar dugaan pimpinan KPK tidak mengindahkan putusan MK Nomor: 70/PUU-XVII/2019 yang menyebut alih status pegawai KPK tidak boleh merugikan hak pegawai KPK karena pada 1 Juni 2021 tidak ada pegawai yang tidak memenuhi syarat (TMS) yang diberhentikan oleh pimpinan KPK dan sampai dengan saat ini masih dapat bekerja seperti biasa berdasarkan perintah dari atasan langsung.
Lebih lanjut, pimpinan KPK walau telah memperoleh hasil TWK, menurut Dewas, masih tetap berupaya untuk memperjuangkan agar seluruh pegawai KPK dapat diangkat sebagai ASN.
Hal tersebut dibuktikan dengan dilakukannya rapat koordinasi pada 25 Mei 2021 dengan Kemenpan RB, BKN, Kemenkumham, LAN, dan KASN. Hasil rapat koodinasi 25 Mei 2021, memutuskan sebanyak 24 pegawai yang dinyatakan tidak memenuhi syarat dapat diangkat sebagai pegawai ASN setelah mengikuti dan lulus pelatihan bela negara yang diselenggarakan oleh Kemenhan.
Dewas menyebut tidak ada pernyataan baik dari Sekjen KPK maupun pimpinan yang mengatakan bahwa pegawai yang tercantum dalam SK Nomor 652 Tahun 2021 mengenai pegawai KPK yang tidak memenuhi syarat untuk dinonaktifkan dari pekerjaannya atau diberhentikan dari KPK.
Padahal Ombudsman RI mengatakan penetapan hasil TWK, yaitu melalui Surat Keputusan Ketua KPK Nomor 652 Tahun 2021 yang menetapkan 75 pegawai TMS adalah tindakan malaadministrasi karena bertentangan dengan putusan MK dan bentuk pengabaian KPK terhadap pernyataan Presiden Joko Widodo.
Bahkan Berita Acara penetapan hasil TWK yang memutuskan untuk memberhentikan pegawai KPK ditandatangani oleh Ketua KPK, Menpan RB, Menkumham, Kepala BKN, dan Kepala LAN meski kelimanya tidak ikut dalam proses asesmen.
Dengan adanya malaadministrasi dalam proses penyusunan Peraturan KPK Nomor 01 tahun 2021, proses pelaksanaan TWK dan penetapan hasil TWK, Ombudsman meminta ada tindakan korektif dari pimpinan KPK, yaitu 75 pegawai yang dinyatakan TMS dialihkan statusnya menjadi ASN sebelum 30 Oktober 2021.