Menteri LHK: Climate Actions Perlu Kebijakan Strategis dan Kerja Sama di Tingkat Nasional dan Global
Pertemuan yang diselenggarakan secara hybrid oleh Pemerintah Inggris selaku Tuan Rumah COP26 UNFCCC ini, bertujuan memberikan kesempatan kepada para
Editor: Johnson Simanjuntak
![Menteri LHK: Climate Actions Perlu Kebijakan Strategis dan Kerja Sama di Tingkat Nasional dan Global](https://asset-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/menteri-lhk-siti-delegasi-glasgow-nih3.jpg)
Selain itu, berkaitan dengan target yang diharapkan dari COP26, Indonesia menyerukan kembali agar negara maju tetap mengambil peran untuk “take a lead”. Mengingat bahwa LTS, yang telah disampaikan Indonesia kepada UNFCCC bersamaan dengan Updated NDC pada Bulan Juli 2021, menyediakan guidance terhadap subsequent NDC, maka Indonesia memandang bahwa mandat baru tentang LTS tidak diperlukan untuk dijadikan salah satu outcome COP26.
Menteri Siti mengungkapkan, belajar dari status pengajuan NDC/Updated NDC dan Strategi Jangka Panjang hingga saat ini, dan dari pengalaman dalam mempersiapkan kedua dokumen tersebut, Indonesia berpandangan bahwa kepemimpinan Para Pihak negara maju adalah yang terpenting dalam pengajuan ini. Begitu pula dalam menyediakan sarana implementasi bagi negara berkembang untuk persiapan dan implementasi NDC dan strategi jangka panjang.
“Langkah-langkah ini harus direfleksikan melalui hasil COP26, menguraikan tindak lanjut Synthesis Report NDC dengan analisis kebutuhan dukungan dan kesenjangan serta mengacu pada rekomendasinya,” kata Menteri Siti.
Untuk sesi ketiga, dan keempat pertemuan “The July Ministerial Meeting COP26 UNFCCC”, Wakil Menteri LHK Alue Dohong menyampaikan intervensi Indonesia terhadap topik-topik yang ditentukan.
Wamen Alue pada sesi ketiga "Loss and Damage", menyampaikan pandangan Indonesia terhadap pembentukan the Santiago Network for Loss and Damage (SNLD). Wamen Alue menekankan tiga elemen penting yaitu tujuan, operasionalisasi dan fungsi SNLD khususnya bagi negara berkembang.
"Peran SNLD diharapkan mampu menjadi katalisator dalam memberikan bantuan teknis kepada negara berkembang dalam upaya mencegah, meminimalkan, dan mengatasi kerugian dan kerusakan (loss and damage). Dalam operasionalnya berdasarkan prinsip country-driven dan fungsinya mencerminkan perspektif kebutuhan pemangku kepentingan, terutama negara berkembang," kata Wamen Alue.
Agar berjalan cepat dan efektif, operasionalisasi SNLD harus dilakukan melalui pengaturan kelembagaan yang tepat. Hal-hal teknis dan finansial juga harus dibahas secara menyeluruh untuk memastikan SNLD dioperasionalkan secara efektif.
Terkait dukungan baik dari dalam maupun luar UNFCCC terhadap SNLD ini, Indonesia menggarisbawahi empat hal. Pertama, SNLD harus terhubung dengan baik dan terintegrasi dalam pengaturan kelembagaan di bawah Konvensi dan Paris Agreement. Kemudian, SNLD harus memiliki hubungan yang dinamis dan sinergi dengan para pakar, terutama dalam menentukan cara terbaik untuk memberikan bantuan teknis di lapangan.
"Kami juga mempertimbangkan peran penting Disaster and Risk Reduction dan komunitas kemanusiaan untuk mendukung fungsi SNLD, karena mereka telah membangun kapasitas yang kuat dalam memberikan bantuan teknis di lapangan. Dan terakhir, fungsi SNLD seharusnya tidak hanya menghubungkan aktor dan kebutuhan, tetapi juga koordinasi dan akses terhadap pendampingan dan sarana implementasinya," ujar Wamen Alue.
Selanjutnya, pada Sesi keempat "Finalising the Paris Rulebook - Article 6", Wamen Alue menyampaikan putusan di COP26 Glasgow terhadap pasal 6, harus memuat unsur-unsur yang diperlukan untuk segera mengoperasionalkannya tahun depan. Begitu juga dengan program kerja untuk masalah-masalah yang diperlukan untuk pelaksanaan sepenuhnya pasal ini.
Untuk itu, Indonesia menyampaikan usulan untuk mencari solusi bersama agar Pasal 6 dapat segera di operasionalkan, antara lain:
Pertama, meningkatkan ambisi dan implementasi capaian NDC melalui pendekatan kerjasama dan dukungan pendanaan antar Negara Anggota tersebut harus tetap memastikan tercapainya integritas lingkungan dari aksi mitigasi yang dilakukan, dan mengacu prinsip TACCC (transparan, akurat, lengkap, dapat diperbandingkan dan konsisten) dan sesuai dengan national circumtances (kondisi negara).
Kedua, dalam rangka mengindari double claiming dalam pengurangan emisi apabila kegiatan CDM transisi ke mekanisme Pasal 6.4, dilakukan melalui corresponding adjustment, penggunaan methodology terbaik dalam penyusunan baseline, transparan dalam pelaporan dan berdasarkan national circumtances.
Ketiga, transisi hasil CDM CER Unit yang dihasilkan sebelum 2020, Indonesia tidak setuju karena akan mengurangi ambisi dan investasi, namun demikian Indonesia setuju kegiatan CDM di transisikan ke mekanisme Pasal 6.4 selama memenuhi kriteria kelayakan mekanisme Pasal 6.4.