Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan: Jangan Disorientasi Gara-gara Pilpres dan Pilkada
Zulkifli Hasan menyerahkan kepada takdir apakah nantinya berpartisipasi sebagai calon presiden atau calon wakil presiden.
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Dewi Agustina
Ketiga, zaman medsos. Kita harus ikuti medsos itu karena kalau tidak kita bagai satwa langka itu, ketinggalan.
Keempat, kita tentu tidak mau ikut kiri kanan, ini oposisi ini apa, kita tidak ikut cebong kampret, PAN berusaha keras selalu rasional mencoba menjual gagasan.
Baca juga: Zulkifli Hasan Kukuhkan Jubir Muda PAN
Jangan jualan agama lagi, jangan jualan kampret cebong lagi, itu sudah 76 tahun merdeka, jadi kami jual gagasan dan konsep bagaimana Indonesia maju 2045 mendatang.
Memang jual gagasan ini kurang laku, karena sekarang zamannya hitam putih, kita terus coba menawarkan konsep, gagasan konsep bagaimana Indonesia di 2045 dan seterusnya itu jadi negara yang kuat sesuai dengan tema hari kemerdekaan, Indonesia tangguh dan tumbuh.
PAN punya pandangan terkait regulasi atau UU yang diperlukan untuk 2024. UU pemilu, elektoral threshold, presidential threshold atau hal lain?
Prinsip-prinsip demokrasi itu kan bisa menghasilkan kesetaraan, keadilan hidup yang harmoni, itu demokrasi.
Demokrasi ini harusnya kita harmoni, itu harusnya. Tetapi kok demokrasi kita menghasilkan sosial distrust, menghasilkan kesenjangan, kenapa? Demokrasi yang tanpa nilai itu hasilnya kaya gini, Demokrasi yang sukses itu kuncinya ada nilai.
Nilai itu bisa diatur akan terbentuk melalui sistem, karena politik itu kan tidak pernah salah, jadi diatur oleh sistem.
Nah sistem yang baik akan melahirkan demokrasi dan nilai-nilai yang baik. Sistem yang kurang baik akan menghasilkan perilaku demokrasi yang kurang baik, karena demokrasi bukan benar salah tapi kesepakatan.
Karena itu sistemnya harus baik benar, oleh karena itu PAN berpandangan harusnya pilpres itu tidak dibatasi 20 persen.
Oleh karena itu kami mengajukan sama dengan parlemen 4 persen sehingga masih banyak pilihan-pilihan, ini dulu ya.
Begitu juga parpol, diatur 4 persen, 4 persen itu kan kali 200 juta kan banyak itu, anggaplah pemilihnya 150 juta dikalikan 4 persen kan 6 juta, masa 6 juta hangus.
Harusnya bukan begitu, yang dipilih tetap jadi, tapi kalau nggak 4 persen nggak punya fraksi harus gabung. Dia kan suara rakyat, dipilih rakyat masa dihanguskan sudah dipilih tapi nggak jadi, kan mengingkari nilai nilai demokrasi.
Jadi kalau sistemnya mengabaikan value atau nilai-nilai demokrasi, maka hasilnya demokrasi itu akan tanpa nilai. Demokrasi tanpa nilai akan menghalalkan segala cara, seperti cebong kampret, menghasilkan korupsi, menghasilkan kesenjangan.
Tetapi ini tidak dapat dirubah lagi, karena kemarin sudah sepakat tidak ada perubahan undang-undang. Untuk perubahan UU pemilu Pilpres, kami kan cuma sedikit 44 kursi, nggak bisa berbuat banyak.
Jadi kalau masyarakat menuntut PAN, pilih dulu dong PAN yang banyak, ini maunya berbuat banyak tapi PANnya sedikit kan nggak bisa. Jadi UU sudah tidak dapat diubah lagi, sudah disepakati tidak ada perubahan UU, kami tetap seperti tadi.
Intinya kalau sistem baik, demokrasinya akan baik, kalau begitu demokrasinya punya nilai ada value, demokrasi yang punya value akan menghasilkan kesetaraan keadilan harmoni, tapi kalau sistemnya buruk menghasilkan demokrasi yang buruk tanpa nilai menghasilkan segala cara ya hasilnya seperti ini.
Strategi apa yang disiapkan DPP PAN untuk mendapat suara signifikan atau mengembalikan suara yang hilang di beberapa daerah terutama di Pulau Jawa?
Memang kemarin itu kita Jawa Tengah saya punya delapan kursi. Tapi katanya karena PAN-nya keras sekali tentu Pak Amien juga. Maka katanya dihabisi, tapi sekarang karena kita sudah baik memang betul diberitakan.
Karena itu kita merubah cara sekarang. Jawa Tengah dulu kita keras pertarungan, sekarang kita berteman di Jawa Tengah dengan PDI Perjuangan, dukung Bupati bareng, pokoknya macam-macam bareng lah.
Pendekatan seperti itu memang ada khas wilayah. Jadi kami di Jawa Tengah begitu. Kami mendekat semua bareng-bareng termasuk pilkada kemarin. Seluruh Bupati pilkada kami ikut bersama PDIP. Dengan begitu paling tidak kami bisa kerja tenang, tidak diganggu, syukur-syukur bisa dibantu.
Jangan lupa saya di Papua punya dua pimpinan DPRD. Karena kami bisa memperlakukan Papua secara baik. Saya sampaikan kalau salah penanganannya hati-hati betul. Kami mengerti pendekatannya harus dikasih trust ke mereka.
Kalau percaya, kelola sepenuhnya kami dua kursi dan pimpinan dewan. Tapi kalau kita lepas pegang ekornya, pegang tangannya itu susah. Indonesia tanpa Papua bukan Indonesia namanya.
Di tengah pandemi PAN juga akan berulang tahun, apa yang akan dilakukan menyambut milad?
Pandemi ini memang memberikan pelajaran berarti bagi kita. Pemerintah sudah bekerja keras ada PPKM macam-macam.
Usaha sudah. Tapi kita ini makhluk tuhan karena itu kita juga munajat kepada tuhan bersama ulama tokoh agama agar diberikan kekuatan dan pertolongan. Kita manusia ini lemah.
Yang kedua tanggal 23 Agustus puncak HUT penekanannya adalah seluruh kader harus membantu masyarakat sekuat yang kita bisa. Paling kurang jaga akhlak, jaga perilaku, jaga empati.
Ada juga kader kami di Sumut apa kalau tidak salah itu, zaman pandemi masih karaoke. Kami pecat yang begitu.
Itu tema kita kira-kira dan juga diselenggarakan daring karena pandemi. Kami akan berbagi dengan tenaga kesehatan yang terdampak, orang-orang yang tidak bekerja. Fokus kita tahun ini membantu. Pidato saya besok menyampaikan kembali jangan kita ini disorientasi gara-gara pilpres dan pilkada.
Jangan lagi membedakan kelompok hanya karena berbeda partai. Ingat kita nggak tiba-tiba hari ini ada sekarang. 76 tahun kita merdeka perjuangannya ratusan tahun. Pengorbanan jiwa raga, harta benda segala macam.
Kita sudah kapok, muak, nggak mau lagi ribut antar suku dan agama. Maka ikrar 17 Agustus 1945 kita merdeka.
Ini harus kita luruskan cita-cita kita sebangsa, setanah air, NKRI. Kalau mau fokus maju membangun SDM hanya bisa dilakukan kalau kita bersama-sama kompak sehingga stabilitas terjaga. (tribun network/Vincentius Jyestha)