Jokowi: 'Bagaimana Mungkin 3 Periode, Para Ketua Umum Partai Sudah Pasang Baliho dan Siap Bertarung'
Jokowi melontarkan candaan bahwa tiga periode tak bisa terjadi karena dirinya bukanlah ketua umum partai politik.
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Dewi Agustina
Sementara itu, Sekjen Hanura Gede Pasek Suardika (GPS) menilai posisi partainya sampai saat ini masih mencermati kemana arah dinamika amandemen UUD 1945.
Bagi Hanura, amandemen dapat dimaklumi jika dilakukan demi penguatan dan memperjelas posisi lembaga DPD RI.
"Saya kira (jika itu alasannya) masih bisa dimaklumi. Begitu juga soal perlunya semacam GBHN atau PPHN untuk memastikan pembangunan berkelanjutan itu masih bisa dipahami," kata GPS.
Akan tetapi, perihal wacana perpanjangan masa jabatan presiden atau perubahan jabatan presiden menjadi tiga periode menurutnya masih perlu dilakukan kajian secara mendalam untuk melihat urgensi wacana itu.
"Khusus soal perpanjangan dan penambahan kekuasaan masih perlu kajian yang lebih komprehensif dan mendalam. Perlu ada kajian jangka panjang untuk memastikan manfaat dan efektivitasnya bagi tercapainya cita-cita bangsa dan negara Indonesia," ucapnya.
Baca juga: Candaan Jokowi Soal Tokoh Politik Pasang Baliho Jelang Pilpres 2024
Sekjen Partai Perindo Ahmad Rofiq mengatakan pihaknya tak berbelit-belit dan sudah bulat mendukung keputusan Presiden Jokowi yang menolak wacana tersebut.
Perindo disebut Ahmad sangat mendukung keputusan mantan Gubernur DKI Jakarta itu.
"Perindo sangat mendukung sikap presiden," kata Ahmad.
Dinilai Gunakan Kalimat Bersayap
Direktur Pusat Studi Komunikasi (PUSaKO) Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan penyataan Presiden Jokowi soal wacana tiga periode atau perpanjangan masa jabatan presiden kerap bersayap alias tak ada kalimat penolakan yang pasti dan tegas.
Feri merujuk pernyataan Jokowi yang menyerahkan permasalahan konstitusi kepada MPR dan hanya akan mematuhi konstitusi.
Dengan demikian ketika amandemen terlaksana, bukan tak mungkin Jokowi berubah pandangan dan menerima amanah konstitusi baru yang memperpanjang jabatan presiden.
"Di titik tertentu bahasa Pak Jokowi sangat bersayap. Karena Pak Jokowi masih mengatakan memang tidak menginginkan maju untuk ketiga kali menjadi presiden, tetapi menggunakan kalimat yang akhirnya dengan kata bahwa hak konstitusi hanya menginginkan atau mengamanahkan dua periode. Artinya kalau diamanahkan tiga periode bisa saja presiden berkata berbeda," ucap Feri, ketika dihubungi.
Menurutnya, dalam situasi ini presiden harus mampu memberikan ketegasan dan kejelasan.
Jika tegas, dia menilai seharusnya Jokowi mampu menutup polemik perpanjangan masa jabatan dengan ajakan tidak mengubah konstitusi.
"Dia harusnya mengatakan, di masa covid ini fokus penanganan pandemi, mari tidak ubah konstitusi. Yang artinya itu tutup buku soal perpanjangan masa jabatan. Itu baru tegas dan jelas," ucapnya.
Selain itu, dia menilai wacana amandemen terbatas tidaklah masuk akal, termasuk isu perlunya Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN).
Sebab bertambahnya kewenangan MPR tentu akan menimbulkan konsekuensi pada kelembagaan negara lain.
PPHN disebutnya akan menjadi tafsir politis terhadap ketentuan UUD yang harus dilaksanakan oleh lembaga-lembaga negara lainnya dan akan mempengaruhi berbagai pasal-pasal yang berkaitan dengan lembaga-lembaga negara lain itu.
Wacana amandemen terbatas, kata Feri, juga bukan tanpa kendala. Yang paling jelas adalah belum adanya kajian yang disyaratkan untuk menjadi usul perubahan.
"Kajian itu berupa pasal dan alasan perubahan dari pasal-pasal konstitusi yang ingin dilakukan," katanya.
Belum lagi, dia menilai amandemen haruslah ditandatangani atau diusulkan oleh sekitar 237 orang anggota MPR/DPR/DPD alias sepertiga dari anggota parlemen, sebagaimana disyaratkan dan ditentukan oleh Pasal 37 UUD 1945.
"Jadi tidak bisa serta merta Ketua MPR dengan percaya diri menyatakan telah ada usul perubahan konstitusi tanpa kemudian adanya surat atau kajian terkait perubahan konstitusi tersebut," ucapnya.
Sementara Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno menegaskan sikap dan pernyataan Jokowi seolah ingin menunjukkan kepada publik bahwa dirinya enggan dilibatkan dalam wacana tersebut ke depannya.
Penolakan Jokowi memanglah kabar baik bagi demokrasi Tanah Air, hanya saja Adi melihat akan lebih baik jika presiden secara langsung menyampaikan sikap penolakannya secara terbuka ke publik.
"Ini mengesankan jokowi tak ingin dilibatkan dalam isu ini. Terasa lebih mantab jika sikap itu disampaikan langsung presiden secara terbuka kepada publik, biar tak ada spekulasi liar. Bukan melalui elit partai non parlemen yang signifikan kebenarannya kadang diragukan publik," kata Adi.
Adi memahami bahwa amandemen memang menjadi urusan dari MPR, akan tetapi dia mempertanyakan sikap pemerintah apakah sudah tepat jika tak mau ikut campur, cuek, dan tidak tak mau tahu menahu soal isu yang sangat krusial.
"Apapun judulnya, amandemen juga berdampak pada eksekutif, presiden tentunya. Selama presiden tak menyatakan langsung soal amandemen, selama itu juga publik gamang dengan sikap resmi presiden. Minimal ada pandangan normatifnya, tak mesti hitam putih," tambahnya. (Tribunnetwork/Vincentius Jyestha)