Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Pakar Hukum Tata Negara: Rencana Amendemen Konstitusi oleh MPR Cacat Konsep dan Paradigma

Fahri Bachmid menilai rencana amendemen UU 1945 tidak bisa diputuskan secara terburu-buru, parsial, dan serampangan.

Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Adi Suhendi
zoom-in Pakar Hukum Tata Negara: Rencana Amendemen Konstitusi oleh MPR Cacat Konsep dan Paradigma
IST
Pakar Hukum Tata Negara Fahri Bachmid 

Ditambahkan Fahri, jika mekanisme pengawasan dan evaluasi harus diletakan secara hukum dengan melibatkan kekuasaan yudisial, maka Mahkamah Konstitusi yang paling dekat dengan pranata ini.

Sehingga, implikasinya adalah amandemen tentunya tidak terelakan untuk menyasar pada bagian ini.

“Jika dianalisis secara lebih mendalam terkait hal itu, maka Potensi impeachment atau pemakzulan dapat saja terjadi, jika kita merifer pada konstruksi norma Pasal 7A UUD 1945 saat ini," katanya.

"Hal ini menjadi penting karena jika ada lembaga negara termasuk presiden yang secara nyata tidak dapat menjalankan PPHN sebagaimana mestinya, dan oleh karena dokumen hukum PPHN adalah materi muatan UUD 1945, maka secara hukum presiden dapat dianggap tidak menjalankan sumpah jabatan presiden sesuai ketentuan pasal 9 UUD 1945,” lanjut dia.

Pasal 9 UUD 1945 mengatakan “bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya memegang teguh UndangUndang Dasar dan menjalankan segala undangundang dan peraturannya dengan seluruslurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa”.

Dengan demikian berdasarkan penalaran yang wajar dan logis, jika ruang ketentuan Pasal 3 yang diamandemen secara otomatis dan teknis akan terbuka ruang-ruang dan norma pasal-pasal konstitusi lain yang saling terkait satu dengan yang lain yang akan mengalami perubahan.

Larenanya, menurut dia, bukan merupakan hal yang mustahil bahwa desain konstitusional mengenai “impeachment” akan dipaksa untuk mengikuti logika desain hukum PPHN saat ini yang sedang bergulir.

Berita Rekomendasi

“Maka membuka kotak pandora menjadi sebuah keniscayaan, sehingga secara otomtasi dengan di aktivasinya Pasal 7A akan berakibat pada perubahan ketentuan norma Pasal 24C ayat (2) di UUD 1945 yang mengatur soal kewajiban MK memutus pendapat DPR. Jika konsekwensinya ketentuan Pasal 3 disahkan, berarti akan ada potensi MK memutus pendapat MPR sepanjang berkaitan dengan pelanggaran tidak dilakukannya produk PPHN oleh MPR,” katanya.

Fahri menjelaskan, jika semua lembaga negara harus melaksanakan PPHN, berarti secara akademik dapat dikatakan bahwa MPR telah menjadi lembaga yang supreme dalam struktur ketatanegaraan Indonesia.

Hal ini, kata Fahri, tentunya menjadi ironi dan deviasi dengan konsep dan paradigma purifikasi sistem presidensial yang telah dibangun dibawah UUD NRI Tahun 1945.

"Yang mana hal ini telah terelaborasi secara konstitusional sebagaimana tersurat dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 yang menyebutkan bahwa Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar," katanya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas