Pakar Hukum Tata Negara: Rencana Amendemen Konstitusi oleh MPR Cacat Konsep dan Paradigma
Fahri Bachmid menilai rencana amendemen UU 1945 tidak bisa diputuskan secara terburu-buru, parsial, dan serampangan.
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Adi Suhendi
Sebab, Pasal 37 ayat 1 UUD NRI 1945 mengatur bahwa “Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat”.
Sedangkan ayat (2) menegaskan “Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya”.
Menurut Fahri, hal tersebut sekaligus untuk memitigasi jika konsep usulan itu ternyata menyasar pada bagian tertentu dari UUD yang bersifat melemahkan.
Disebutkan Fahri, jika itu yang terjadi maka secara paradigmatik keseluruhan struktur UUD 1945 tentu mengalami pergeseran yang sangat elementer.
Fahri kemudian menjelaskan tentang pranata GBHN/PPHN yang tidak relevan lagi dengan sistem ketatanegaraan yang berlaku saat ini.
Sebelum amendemen UUD 1945, GBHN merupakan mandat konstitusional MPR untuk presiden karena sistem yang berlaku ketika itu presiden dipilih MPR.
Baca juga: Zulhas Meyakini Amendemen UUD 1945 Tak Akan Terjadi Hingga Pemilu 2024
“Secara teoritik kita memang membangun supremasi parlemen dengan seluruh konsentrasi kekuasaan saat itu ada pada MPR. Konsekuensinya, adanya kewenangan MPR untuk mengangkat Presiden dan Wakil Presiden serta menetapkan dokumen hukum GBHN, sehingga dengan kewenangan tersebut, MPR dapat meminta pertanggungjawaban Presiden,” jelas dia.
Secara doktrinal, menurut Fahri, sistem ketatanegaraan Indonesia sebelum amendemen sepanjang berkaitan dengan prinsip kedaulatan, menganut ajaran “distribution of power” yang secara konstitusional terdapat distribusi kekuasaan kepada lembaga-lembaga negara yaitu dari lembaga tertinggi negara kepada lembaga tinggi negara.
Dengan pola distribusi kewenangan tersebut dari MPR selaku lembaga tertinggi negara (supremasi MPR) kepada lembaga-lembaga tinggi negara.
Namun, katanya, sejak Pemilu 2004, presiden dan wakilnya dipilih langsung leh rakyat.
Itu, dijelaskan Fahri, merupakan konsekuensi dari amendemen konstitusi yang dilakukan pasca-reformasi, yang mana menegaskan Indonesia menganut prinsip negara demokrasi (daulat rakyat) sekaligus nomokrasi (daulat hukum), sebagaimana terdapat dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.
Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menyebutkan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”, yang mana kekuasaan pemerintahan negara dilakukan sesuai fungsi dari masing-masing lembaga negara secara seimbang dan sederajat sesuai konstitusi.
Bahwa secara apriori jika dokumen hukum GBHN/PPHN ini di adopsi dalam konstitusi, akan memunculkan gagasan menjadikan MPR kembali sebagai lembaga tertinggi negara.
“Bisa jadi kelanjutannya adalah presiden dipilih kembali oleh MPR. Hal ini tentunya sudah sangat tidak relevan dengan bagunan struktur ketatanegaraan yang dibangun saat ini pada saat amandemen UUD 1945, yang mana paradigma serta orientasinya adalah penguatan sistem presidensial serta pelakasanaan prinsip Checks and Balance System dalam hubungan relasi serta interelasi antara lembaga-lembaga negara yang diatur dalam konstitusi,” jelas Fahri.