Kepemimpinan Firli Dinilai Masih Bagus, Buktinya Menteri hingga Pimpinan DPR Ditangkap KPK
Emrus Sihombing menyatakan tawaran Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo untuk merekrut 56 mantan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Hasanudin Aco
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Vincentius Jyestha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Komunikasi Politik Universitas Pelita Harapan, Emrus Sihombing menyatakan tawaran Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo untuk merekrut 56 mantan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu diapresiasi.
"Apa yang dilakukan Kapolri terhadap 56 mantan pegawai KPK harus kita apresiasi, yang dilakukan Kapolri sebagai jalan keluar untuk mengatasi atas konflik tersebut," kata Emrus dalam diskusi virtual dengan tema 'Pro Kontra Kapolri Rekrut 56 Mantan Pegawai KPK' pada Senin (4/10/2021) seperti dalam siaran pers yang diterima Tribunnews.com.
Emrus menyebut Polri merupakan institusi yang kredibel.
Itu karenanya tawaran kepada 56 orang tersebut tidak akan memperkeruh kondisi yang ada saat ini.
Lagipula, kata dia, tawaran Kapolri sudah sesuai dengan konstitusi.
"KPK di bawah Firli tetap melakukan kegiatan penegakan korupsi. Kita lihat dua Menteri kena OTT. Selain itu wakil DPR juga kena. Itu tandanya KPK tetap tajam ke semua pihak. Tawaran dari Kapolri telah sesuai konstitusi dan sesuai peraturan yang dikeluarkan Mahkamah Agung," paparnya.
Baca juga: Eks Pegawai KPK Masih Berharap Jokowi Tindaklanjuti Temuan Ombudsman dan Komnas HAM
Dalam kesempatan yang sama, Pengurus Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Surya Vandiantara menyatakan sikap Kapolri untuk merekrut tersebut merupakan sikap kenegarawanan yang perlu diacungi jempol.
"Bahwa tawaran bapak Kapolri merupakan solusi dan merupakan sikap kenegarawanan yang di tunjukkan sebagai pejabat di Institusi Polri," ungkap Surya.
Surya berharap situasi polemik tersebut cepat berakhir, sehingga kerja-kerja pemberantasan korupsi tetap berjalan.
"Kami dari pengurus pemuda Muhammadiyah tentu sesua visi kami tetap mendukung pemberantasan korupsi," tambahnya.
Sementara Ketua PBHI Jakarta Sabar Daniel Hutahaean mengatakan sikap tersebut justru bukanlah polemik.
Pasalnya proses pemberhentian tersebut sesuai prosedur yang ada dan secara hak asasi tidak ada yang dilanggar.
"Menurut saya keputusan Kapolri untuk menampung atau merekrut mereka patut diapresiasi dan merupakan tawaran yang terhormat, karena lembaga Polri adalah lembaga yang terhormat dan prestisius, tentu menurut saya teman-teman mantan pegawai KPK agar mempertimbangkan tawaran tersebut," kata mantan Aktivis Forkot tersebut.
Selain itu, perwakilan Aktivis 98 Samson mengapresiasi keputusan Kapolri untuk merekrut 56 mantan pegawai KPK yang sudah diberhentikan per 30 September lalu. "Sebagai bentuk penghargaan dan penghormatan bapak Kapolri dalam memberantas korupsi di Indonesia," katanya.
Kata Abraham Samad
Terpisah, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2011-2015 Abraham Samad nampak gusar dengan leganya sejumlah pihak ketika 57 eks pegawai KPK mendapatkan opsi untuk direkrut dan dilantik menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) di Bareskrim Polri.
Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo diketahui telah mendapatkan persetujuan dari Presiden Joko Widodo soal usulannya menarik 57 orang tersebut ke Korps Bhayangkara.
Dengan nada agak meninggi, Samad menjelaskan persoalan yang dihadapi Novel Baswedan dkk bukanlah bisa diangkat menjadi ASN atau tidak. Melainkan di institusi mana mereka pada akhirnya mengabdi.
"Yang menjadi persoalan bukan apakah teman-teman ini bisa diangkat menjadi ASN atau tidak. Mungkin kalau dikatakan teman-teman ini masih bisa diangkat menjadi ASN, sangat berpeluang. Tapi yang saya khawatirkan mereka ditempatkan di institusi lain, itu yang kita khawatirkan," kata Samad, Sabtu (2/10/2021).
Apabila benar nantinya 57 eks pegawai KPK merapat ke Bareskrim Polri, Samad melihat agenda pemberantasan korupsi yang tetap menggeliat pasca revisi UU KPK bisa sama sekali terhenti.
Dengan sedikit membenarkan letak kacamata yang menggantung di telinganya, penyelamatan pemberantasan korupsi disebutnya hanya bisa dilakukan jika mereka yang dipecat itu tetap dipertahankan dan bekerja di Gedung Merah Putih KPK.
Temuan Ombudsman dan Komnas HAM soal tes wawasan kebangsaan (TWK) kembali disinggung Samad.
Bahwa seyogyanya tidak ada alasan untuk tidak mengangkat 57 orang tersebut kembali menjadi ASN yang bertugas di KPK.
"Mengangkat mereka menjadi ASN di tempat lain saya rasa itu bukan solusi ideal ya. Solusi ideal menurut saya adalah mengembalikan mereka kepada posisi semula. Karena proses pemberhentian teman-teman ini ada pelanggaran hukumnya, itulah masalah yang harus diselesaikan," ucapnya.
"Dengan begitu, itu akan merehabilitasi harkat martabat teman-teman yang sudah diberhentikan. Bagaimana caranya? Jadi teman-teman ini diangkat jadi ASN di KPK supaya bisa melakukan pekerjaan dan perjuangan pemberantasan korupsi lagi," tambahnya.
Tak lama, Samad menyimak seksama pertanyaan yang diajukan peserta diskusi.
Baca juga: Abraham Samad Sebut 57 Pegawai yang Dipecat KPK adalah Pejuang-pejuang Pemberantasan Korupsi
Bertopang dagu, sesekali dia menggerakkan telapak tangan di dagunya yang dipenuhi janggut yang beruban.
Kernyitan dahi Samad tak bisa disembunyikan ketika peserta bersikukuh menyebut pelanggaran TWK merupakan tanggung jawab BKN sebagai pelaksana dan bukan salah KPK sebagai user.
Samad menjawab bahwa bisa jadi tidak sepenuhnya pelanggaran TWK itu harus diarahkan kepada KPK, sebab ada kontribusi yang diberikan BKN di dalamnya.
Namun fokus persoalan disebutnya ada pada persetujuan pimpinan KPK untuk memecat 57 orang itu.
"Yang jadi persoalan sebenarnya bahwa pemberhentian 57 pegawai KPK itu kan dikeluarkan oleh KPK, ditandatangani oleh Ketua KPK dan para komisioner. Itu yang jadi problem. Ya mungkin ada benarnya bukan hanya pada KPK nya yang melakukan pelanggaran, tapi BKN juga," ucapnya.
Di sisi lain, Samad menyebut masalah ini jangan hanya dilihat pada ujungnya, dimana 57 orang ini pada akhirnya dipecat.
Namun selama ini ada proses dan upaya untuk mengeliminasi atau mengeluarkan mereka yang sempat nonaktif itu.
Sebab mereka adalah orang yang dianggap progresif dan menjalankan tugasnya memberantas korupsi.
Bahkan kasus ditangkapnya eks Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin tidak dapat mewakili pandangan bahwa KPK tetap dapat bekerja maksimal tanpa ke-57 orang tersebut.
"57 orang itu kan dianggap progresif di KPK, mereka adalah orang yang tidak bisa diajak kompromi terhadap pelanggaran-pelanggaran. Mereka lah yang sebenarnya selama ini tetap menjaga integritas KPK. Jadi ada proses pendahuluan yang bisa kita lihat bahwa ada upaya sistematis untuk mengeliminir keberadaan mereka di KPK," kata Samad.
"Kalau tadi dikatakan KPK masih bisa menetapkan Azis Syamsuddin sebagai tersangka, saya pikir tidak bisa dilihat secara kasuistis per kasus. Tapi harus kita lihat ada persoalan jauh sebelumnya sehingga kita bisa simpulkan ada pelemahan terhadap pemberantasan korupsi. Banyak masalah yang dapat kita lihat sebelum proses TWK dilaksanakan, itu yang jadi masalah," ucapnya.
"Jadi harus dilihat dari satu kesatuan bukan diujungnya saja yang kita lihat proses pemberhentiannya tapi ada beberapa proses, kejadian yang kita bisa mengindikasikan bahwa ada upaya-upaya untuk mengeliminir keberadaan mereka di KPK," tandasnya. (Tribunnetwork/Vincentius Jyestha)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.