Gubernur Lemhannas: Pendidikan Karakter Jadi Syarat Hasilkan SDM Unggul Hadapi Indonesia Emas 2045
Gubernur Lemhannas RI Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo menilai pendidikan karakter menjadi prasyarat untuk menghasilkan Sumber Daya Manusia (SDM) unggul
Penulis: Gita Irawan
Editor: Wahyu Aji
"Oleh karenanya sangat pentingnya pendidikan karakter yang menjadi prasyarat menghasilkan SDM yang unggul khususnya menghadapi Indonesia Emas 2045," kata Agus.
Agus menjelaskan sebenarnya sudah banyak sistem pendidikan yang bisa dijadikan model sebagai studi banding.
Ia mencontohkan Finlandia yang disebut sebagai negara yang memiliki sistem pendidikan terbaik.
Konon, kata dia, pada saat usia berkembang, anak-anak di Finlandia tidak dipaksakan belajar yang berat-berat dan dibebaskan untuk bermain untuk menemukan karakternya sendiri pada usia-usia dini.
Agus juga menyebut contoh lainnya yakni Jepang.
Menurutnya pada sistem pendidikan Jepang memang diniatkan untuk membentuk budi pekerti, karakter, dan tradisi budaya baru kemudian membentuk pengetahuan.
Ia juga mencontohkan salah satu sistem pendidikan di negara Barat yang juga menitk beratkan pada karakter.
Mengutip sebuah kalimat, Agus mengatakan seorang pendidik di negara Barat lebih khawatir jika anak didiknya tidak bisa mengantre ketika berada di ruang publik dibandingkan tidak bisa memahami matematika.
Karena, lanjut dia, matematika bisa diajarkan dalam waktu singkat, tetapi kultur peradaban yang tinggi tidak bisa diajarkan dalam waktu singkat.
Menurutnya, di sekitar kita sudah banyak best practices untuk dilihat.
Namun demikian, terkadang kita terlalu sombong untuk mengatakan bahwa kita sudah punya semuanya sehingga malas untuk mencari bahan banding.
Ia pun menekankan bahwa proses menerjemahkan semua keinginan dalam sebuah sistem pendidikan adalah tantangan tersendiri.
Baca juga: Nasib Jadwal Pemilu 2024 Paling Cepat Ditentukan Awal November 2021, Begini Alasannya
Terkadang, kata dia, keinginan tersebut terjemahkan menjadi sebuah sistem untuk diimplementasikan bentuknya menjadi berbeda.
"Artinya kelemahan kita itu adalah untuk mentransformasikan, menerjemahkan gagasan-gagasan, ide-ide yang ada dalam benak kita, yang biasanya sempurna ide itu. Kita mau semuanya. Kita tidak bisa untuk menentukan prioritas, pentahapan. Kita sekaligus mau semuanya yang bagus-bagus. Ini tantangan," kata Agus.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.