Jaksa Agung Bakal Bentuk Tim Khusus Tangani Mafia Tanah dan Pelabuhan
Instruksi tersebut disampaikan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi hingga Kepala Kejaksaan Negeri seluruh Indonesia.
Penulis: Igman Ibrahim
Editor: Hasanudin Aco
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Igman Ibrahim
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jaksa Agung ST Burhanuddin menyampaikan pihaknya akan membentuk tim khusus untuk menangani kasus mafia tanah dan mafia pelabuhan.
Instruksi tersebut disampaikan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi hingga Kepala Kejaksaan Negeri seluruh Indonesia.
"Kejaksaan wajib hadir guna memberikan kepastian hukum kepada pencari keadilan. Oleh karenanya saya memerintahkan kepada para Kepala Satuan Kerja (Kajati dan Kajari) segera bentuk tim khusus untuk menanggulangi sindikat mafia tanah," kata Burhanuddin dalam keterangannya, Senin (29/11/2021).
Ia menyampaikan keberadaan para mafia itu telah meresahkan dan berimplikasi terhadap terhambatnya proses pembangunan nasional.
Mafia rentan memicu konflik sosial, serta menurunkan daya saing.
Baca juga: Nirina Zubir Berharap Kasus Mafia Tanah Segera Usai, Kondisi Sang Ayah Drop Pikirkan Aset Keluarga
Apalagi, para mafia tersebut juga tidak jarang telah berafiliasi dengan oknum-oknum pada berbagai lembaga pemerintah.
“Saya minta Jaksa bukan hanya melakukan penindakan, tetapi juga harus mampu mengidentifikasi dan mencari penyebab mengapa praktek para mafia tersebut tumbuh subur sampai saat ini, seakan telah menjadi bagian dari ekosistem dan membuat masyarakat menjadi permisif akan hal tersebut,” kata Burhanuddin.
Burhanuddin mengharapkan para Jaksa harus mampu memberikan solusi perbaikan sistem agar tidak ada celah bagi para mafia tanah untuk mengganggu tatanan yang ada.
Setidaknya ada empat cara yang diungkapkan Jaksa Agung.
Pertama, belum terintegrasinya administrasi pertanahan yang dikelola oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) dengan administrasi pertanahan yang ada di desa.
"Misalnya terkait tanah Letter C mengenai kewenangan Ketua Adat menerbitkan Surat Keterangan Tanah (SKT) atau Surat Keterangan Tanah Adat (SKTA)," ungkap dia.
Kedua, belum selesainya proses pendaftaran tanah, sehingga masih dibuka penggunaan tanda bukti hak atas tanah yang ada sebelum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Ketiga dan keempat adalah segera dilakukan tindakan administratif terhadap tanah yang haknya berakhir atau telah hapus dan terdapat sertifikat ganda yang saling tumpang tindih.