Stempel Hoaks, dan Iklan Digital Programatik Mengandung Konten Informasi Palsu Mendapat Sorotan
Stempel hoaks pada karya jurnalistik yang dikeluarkan aparat menjadi sorotan dalam Indonesia Fact-checking Summit 2021.
Editor: Wahyu Aji
“Saat ini sudah ada 173 episode, setiap episode membahas lima hoaks,” kata Wydia dari KBR.
Pemilihan lima hoaks itu berdasarkan ranking hoaks yang paling riuh dari temuan Mafindo. Aribowo memaparkan, kerjasama yang terjalin pasca Media Summit 2018 silam itu mulanya menggunakan format siaran namun semenjak pandemi berubah format karena pembatasan interaksi secara langsung dengan pengecek fakta di KBR.
“Kami ambil lima hoaks dengan engagement tertinggi dari pantauan Mafindo karena itu yang engagement-nya tertinggi, berarti jadi sorotan masyarakat,” imbuh Wydia seraya menambahkan penyebaran via siniar lebih mudah dibandingkan siaran radio yang sifatnya berlalu begitu saja.
Berdasarkan pengalamannya, konten bernada negatif dan berkaitan dengan isu politik merupakan yang paling sering muncul untuk dibahas dalam siniar Cek Fakta yang dikelola KBR.
Baca juga: Wakili Presiden Jokowi, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto Akan Buka Puncak IDC AMSI 2021
“Konten yang diplintir itu lebih sulit untuk dijelaskan karena terkadang publik menganggap foto atau videonya tidak dimodifikasi,” terang Aribowo.
Guna mensosialisasikan pentingnya menghentikan penyebaran hoaks, Aribowo dan Wydia memilih menyematkan jargon-jargon yang mudah diingat lewat siniar dan siaran.
Misalnya, semboyan sharing yang penting bukan yang penting sharing, care with what you share.
“Yang paling sering juga jaga emosi, tahan jari, verifikasi sebelum dibagi,” tambah Aribowo.
Dokter spesialis penyakit dalam, Adaninggar Prima Nariswari tergerak membuat konten cek fakta karena dirinya merasa semasa pandemi kerap beredar informasi yang menyesatkan di berbagai media sosial.
Konten-konten menyesatkan itu semakin viral jika pesannya disampaikan oleh pejabat publik atau public figure.
“Saya memilih buat meluruskan dari lingkungan terdekat dulu,” kata Adaninggar.
Baca juga: Tingkatkan Kepercayaan Publik, AMSI Rumuskan Indikator Kepercayaan Media Digital
Sementara itu pada sesi ketiga, narasumber banyak menyoroti soal peredaran iklan digital (programmatic ads) dari perusahaan teknologi digital yang kontennya memuat informasi palsu. Kondisi ini memprihatinkan karena pada sisi lain, media daring memerlukan pemasukan.
Guna mengatasi kondisi tersebut, para pemantik serta penanggap dalam diskusi bertajuk “Membersihkan Iklan Digital (Programmatic Ads) di Media Online dari Potensi Mis/Disinformasi” mendorong perlunya menciptakan ekosistem bisnis yang sehat. Media tetap menjaga kualitas dengan menayangkan iklan yang mematuhi kode etik periklanan dan tidak menyebarkan kebohongan.
Pemantik dalam diskusi ketiga ini, masing-masing, Fakhrurrodzi Baidi (CEO Riauonline.co.id), Moch. Rifki (Head of Publisher Development MGID Indonesia), Heru Margianto (Managing Editor Kompas.com), serta penanggap Denia Isetianti (warganet yang kontennya digunakan tanpa izin dalam pariwara daring), dan FX. Lilik Dwi Mardjianto (Dosen Program Studi Jurnalistik Universitas Multimedia Nusantara).
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.