Representasi Perempuan Dalam KPU dan Bawaslu Manyusut Sejak 2012
Koordinator Maju Perempuan Indonesia (MPI) Lena Maryana Mukti menilai kehadiran perempuan di lembaga penyelenggara pemilu
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Hendra Gunawan
Beni mengatakan konstruksi sosial mengenai keadilan perempuan di ruang atau institusi politik itu masih menjadi pekerjaan rumah.
"Di banyak daerah ini menjadi diskusi yang panjang bagaimana budaya patriarki itu masih melihat kehadiran perempuan tidak menjadi hal yang urgent untuk diperhatikan," kata Beni.
Tantangan lainnya terkait dengan tantangan domestik, dimana perempuan banyak mengalami kesulitan untuk membagi tanggung jawab sebagai seorang istri dan ibu jika berkarir di ranah ini.
Kemudian tidak mudah mengidentifikasi dan menjaring calon potensial menjadi tantangan selanjutnya.
Beni mengatakan tantangan ini terasa sekali karena waktu seleksi yang relatif pendek membuat peluang untuk menjaring sebanyak mungkin kandidat potensial menjadi terbatas.
Selanjutnya ada tantangan terkait proses seleksi dan celah regulasi. Merujuk Pasal 10 ayat (7) dan Pasal 92 ayat (11) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang mengatur bahwa komposisi keanggotaan KPU dan Bawaslu memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen, Beni mengatakan frasa memperhatikan muncul pada masalah yang mengatur proses seleksi khususnya ayat yang menjelaskan berapa jumlah yang harus diserahkan kepada presiden oleh timsel.
"Sedangkan pada proses seleksi itu ada beberapa tahapan yang diselenggarakan, baik pendaftaran, tahap pertama, kedua. Dan pada banyak kasus perempuan ini sudah gugur dari proses sebelumnya, sehingga peluang menghadirkan 30 persen keterwakilan perempuan menjadi semakin sulit," katanya.
"Kemudian gantangan terakhir adalah kepentingan politik dalam proses seleksi. Kepentingan politik ini membuat opsi keterwakilan perempuan tidak menjadi perhatian penting, terutama di proses uji kepatutan dan kelayakan di DPR RI," pungkasnya. (Tribunnetwork/Vincentius Jyestha)