Pimpinan MPR: Perlu Restorasi Sejumlah Kebijakan dalam Proses Politik di Tanah Air
Diperlukan restorasi kebijakan publik untuk melakukan transformasi politik yang lebih humanis, dengan mengacu pada nilai-nilai di masyarakat.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Diperlukan restorasi kebijakan publik untuk melakukan transformasi politik yang lebih humanis, dengan mengacu pada nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.
"Saat ini kita memerlukan sejumlah kebijakan yang mampu mengantisipasi berbagai perubahan, lewat berbagai penyesuaian terhadap norma-norma baru yang berlaku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema "Menuntaskan Agenda Politik di Tahun 2022" yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (12/1/2022).
Diskusi yang dimoderatori Drs. Luthfi A. Mutty, M.Si (Staf Khusus Wakil Ketua MPR RI, Bidang Penyerapan Aspirasi Masyarakat dan Daerah) itu menghadirkan Irma Suryani Chaniago (Anggota DPR RI, F- NasDem), Airlangga Pribadi, Ph.D (Pakar Politik FISIP Unair/ Panitia Seleksi Anggota KPU RI 2022-2027), Dr. Atang Irawan, S.H, M.Hum (Pakar Hukum Tata Negara) dan Arya Fernandes (Ketua Departemen Perubahan Sosial dan Politik, CSIS) sebagai narasumber.
Menurut Lestari, upaya memperkuat nilai-nilai kebangsaan kita harus terus dilakukan untuk mengantisipasi sejumlah tantangan dalam bernegara yang ujungnya adalah terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Baca juga: Ketua MPR Dukung Pemberian Vaksin Booster Covid-19 Secara Gratis kepada Seluruh Masyarakat
Diakui Rerie, sapaan akrab Lestari, pada dua tahun terakhir Indonesia, seperti juga negara lain, dilanda pandemi Covid-19 yang berdampak terhadap berbagai sektor, termasuk sektor politik.
Berdasarkan catatan The Economist Intelligent Unit (EIU), tambah Rerie, demokrasi Indonesia secara umum mengalami penurunan skor selama lima tahun terakhir.
Akibatnya, ujar Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, sejumlah pekerjaan rumah hingga saat ini masih menumpuk dan memerlukan perhatian semua pihak untuk menuntaskannya.
"Kita harus segera mendapatkan jalan keluar dari berbagai persoalan yang ada saat ini, dengan merangkul semua komponen masyarakat agar mampu menjawab berbagai tantangan dalam bernegara," ujar Rerie.
Pakar Politik FISIP Unair, Airlangga Pribadi berpendapat, menurunnya indeks demokrasi di masa pandemi tidak dialami Indonesia saja, tetapi hampir semua negara di dunia.
Akar masalah dari penurunan indeks demokrasi itu, ujar Airlangga, tidak terlepas dari problem ekonomi yang dihadapi sebagai dampak dari kebijakan pengendalian Covid-19.
Akibatnya, tambah Airlangga, pembelahan politik berbasis SARA dan praktik politik uang pun terjadi di sejumlah negara Asia Tenggara, termasuk di Indonesia.
"Ada problem ketimpangan ekonomi yang cukup lebar di Indonesia, karena satu persen orang kaya menguasai 41% sumber-sumber kemakmuran di tanah air," ujarnya.
Airlangga menilai kondisi itu akan memicu kekecewaan karena terganggunya praktik keterwakilan dalam proses demokrasi.
Kondisi tersebut, menurut Airlangga, harus mendorong terjadinya reformasi partai politik agar para anggota partai politik, sebagai calon anggota legislatif dan pejabat eksekutif, mampu mengartikulasikan dinamika yang terjadi di masyarakat, untuk kemudian partai politik bisa mencarikan solusi atas dinamika yang terjadi di masyarakat.