Riset BRIN: 43 Persen Masyarakat Terganggu Aktivitas Sosial Media Dipantau Aparat
43 persen masyarakat merasa terganggu dan sangat terganggu kehidupan privasi mereka di media sosial diawasi oleh pemerintah
Penulis: Larasati Dyah Utami
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Regresi demokrasi, dimana kebebasan sipil, kebebasan berpendapat dan berserikat mengalami penurunan yang disebabkan oleh faktor dari atas (pemerintah/institusi negara).
Hal ini dibuktikan dari hasil riset yang dilakukan Pusat Riset Politik (PRP) BRIN pada 26 Juli – 9 Agustus 2021 tentang Islam, Demokrasi, dan Politik Identitas terhadap 1.500 responden.
Salah satu hasil riset itu membuktikan, 43 persen responden merasa terganggu dan sangat terganggu karena polisi (aparat keamanan) dan intelijen mengawasi kebebasan di media sosial, seperti di Facebook, Twitter, Whatsapp dan lainnya.
“43 persen masyarakat merasa terganggu dan sangat terganggu kehidupan privasi mereka di media sosial diawasi oleh pemerintah,” kata Peneliti BRIN, Nostalgiawan Wahyudhi di webinar BRIN, Rabu (2/2/2022).
Hanya 31 persen saja responden yang menyatakan merasa tidak terganggu, 26 persen lainnya tidak menjawab.
Baca juga: Rekind dan BRIN Sinergi Kembangkan Lisensi Teknologi Komersil Merah Putih
Menilik dari perjalanannya, Wahyudhi mengatakan indeks demokrasi Indonesia menurun dalam 5 tahun terakhir, berdasarkan survey yang dilakukan Economist Intelligence Unit 2021 dan V-Dem Institute 2021.
Ia berujar sejak tahun 2014 kontestasi politik di Indonesia cenderung mengarah pada politik bipolar yang memperuncing pengkubuan politik dalam dua kelompok besar.
Wahyudhi mengatakan pada tahun 2020 demokrasi di Indonesia terjadi penurunan yang signifikan.
Tidak hanya kebebasan sipil, juga terjadi penurunan pluralisme, pengelolaan pemerintahan, kebebasan berpendapat dan partisipasi politik.
Artikulasi politik terutama dari kelompok oposisi mendapatkan tekanan dan kekangan yang kuat dari pemerintah.
“Rezim secara terbuka melakukan penggembosan, intimidasi, penghaluan masa, kriminalisasi lawan politik, dan tuduhan makar,” katanya.
Menurutnya pemerintah telah mengambil langkah-langkah gegabah dalam menjaga stabilitas politik nasional.
Contohnya dengan melakukan penghalangan demonstrasi, mengkasuskan tokoh dan ulama yang terlibat demonstrasi dengan UU ITE, melakukan penangkapan sejumlah tokoh dengan tuduhan makar hingga membuat UU ormas.
Menggunakan pendekatan ofensif yang dilakukan oleh lembaga-lembaga negara tanpa mempertimbangkan prinsip demokrasi disebutnya justru akan memicu eskalasi politik yang lebih besar.
“Posisi ofensif rezim terhadap aksi ini memunculkan narasi nasional bahwa rezim terlalu berpihak, anti kritik dan tidak demokratis. Itu persepsi-persepsi yang keluar dari kelompok oposisi,” ujarnya.