Kepala BIN: Pemindahan Ibu Kota Negara Direncanakan Secara Matang
perpindahan Ibu Kota Negara (IKN) bukan lagi satu keniscayaan melainkan sudah menjadi program resmi pemerintah, perintah undang-undang
Penulis: Febby Mahendra
Editor: Hasiolan Eko P Gultom
Kepala BIN: Pemindahan IKN Direncanakan Secara Matang
Febby Mahendra/Tribunnews.com
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kepala Badan Inteljen Negara (BIN) Jenderal Pol Purn Prof Dr Budi Gunawan SH MSi menilai, perpindahan Ibu Kota Negara (IKN) bukan lagi satu keniscayaan melainkan sudah menjadi program resmi pemerintah.
Hal tersebut, kata dia, merupakan konsekuensi logis pasca disahkannya RUU tentang IKN oleh DPR-RI pada 18 Januari 2022 lalu.
"Pembangunan Ibu Kota Negara di kawasan Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, adalah perintah Undang-Undang. Dengan berpijak pada asas legal tersebut, selayaknya segenap elemen bangsa ikut membantu dan mendorong pembangunannya," kata Budi Gunawan dalam keterangan tertulis, Jumat (4/2/2022).
Baca juga: UU IKN Digugat, Pemerintah Tetap Susun Aturan Turunanannya
‘’Program IKN itu dijalankan dengan persiapan yang matang, mempertimbangkan berbagai aspek, dan kini sudah memiliki landasan hukum yang sah,’’ tambahnya.
Namun, dari segi rincian teknis, masih diperlukan lebih banyak gagasan dan masukan-masukan. ‘
’Jadi, masih terbuka lebar kesempatan bagi pikiran kritis untuk berkontribusi dalam IKN,’’ ujuar Budi Gunawan.
Adapun pemindahan IKN, menurutnya, bukanlah gagasan yang baru.
Presiden Soekarno pernah mencanangkan program pembangunan IKN itu pada 1957. Pilihan lokasinya ketika itu ialah Palangkaraya.
Baca juga: Digugat Ke MK, Moeldoko: Pembangunan IKN Adalah Sebuah Kebutuhan
Presiden Soekarno telah merencanakan sebuah kota baru yang modern, indah dan asri, yang dibelah oleh Sungai Kahayan.
Lebih dari itu, yang dikedepankan Bung Karno ialah sebuah Ibu Kota Negara yang dibangun atas dasar visi Bangsa Indonesia sendiri. Tapi, perubahan situasi politik menenggelamkan rencana besar itu.
Budi Gunawan berpendapat, kebutuhan adanya Ibu Kota Negara yang baru itu kebutuhan obyektif, dan bukan keinginan subyektif.
Baca juga: Berpacu dengan Waktu, Jokowi Beri Anies Baswedan Waktu 53 Hari untuk Tentukan Status Jakarta
Kota Jakarta sebagaimana kota tua lainnya di Indonesia, yang dibangun pada era kolonial, yang kurang mempertimbangkan sisi keadilan, kesetaraan, dan keharmonisan dalam hal tata ruang. Konsep spatial perumahan rakyat misalnya, tidak mendapat porsi yang cukup.
Akibatnya, terjadi kesenjangan dalam hal hunian. Kelompok sosial terbawah di kota-kota besar harus menghuni permukiman yang miskin sarana sanitasi, kekurangan air bersih, dan tanpa kemudahan akses menuju pusat-pusat ekonomi.
Dalam perkembangannya, kebutuhan akan kehadiran ibu kota baru pun menjadi masalah yang riil. Kondisi Jakarta sebagai ibu kota negara terus mengalami kemunduran, setidaknya dari sisi daya dukung lingkungannya.