Bencana Ekologis Terus Mengancam, Walhi: 33,5 Juta Hektare Kawasan Hutan Dikuasai Korporasi
Walhi mencatat komoditas kelapa sawit menjadi berkontribusi besar terhadap karhutla karena tingginya ekspansi bisnis.
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kepala Kampanye Anti Industri Ekstraktif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Hadi Jatmiko mengatakan tahun 2022 bencana ekologis masih akan terjadi.
Pada 2021 saja telah terjadi 2.208 kejadian bencana alam hidrometeorologi seperti banjir, diikuti puting beliung, dan tanah longsor.
Menurut, Hadi, bencana ini tidak lepas karena kawasan hutan yang dikuasai korporasi.
Baca juga: Bencana Kekeringan dan Kelaparan Mengancam Tanduk Afrika
"Ada 33,5 juta hektare kawasan hutan kita dikuasai swasta maupun BUMN. Ini yang menyebabkan kerusakan dan membuat terjadi bencana ekologis," tutur Hadi dalam sebuah webinar, Rabu (9/2/2022).
Ia menekankan yang harus diwaspadai ke depan kemarau panjang karena identik dengan terjadinya kasus kebakaran hutan.
Hadi menilai penguasaan kawasan hutan oleh korporasi membuat karhutla sulit untuk dihindari.
"Memang penguasaan hutan di lahan gambut ini menjadi salah satu penyebab terjadinya kebakaran. Dalam beberapa kasus dari 2014 sampai 2019 kebakaran hutan didominasi perusahaan tanaman industri," tukasnya.
Baca juga: Bersama Mensos hingga Kepala BNPB, Wapres Tinjau Lokasi Terdampak Bencana Gempa Bumi di Pandeglang
Walhi mencatat komoditas kelapa sawit menjadi berkontribusi besar terhadap karhutla karena tingginya ekspansi bisnis.
Produk sawit secara besar di dalam negeri ini seiring dengan kebijakan pemerintah untuk mencapai target energi baru terbarukan.
"Program pemerintah terkait biodiesel berbahan baku sawit ini hanya memenuhi hingga B50. Sampai 50 saja sudah mengancam kebakaran apalagi sampai 100," terang Hadi.
Kurangi Ketergantungan Fosil
Ketua Himpunan Pengusaha Kosgoro DKI Syafi Djohan mengatakan, saat ini, hampir semua negara memiliki ketergantungan kepada bahan bakar fosil (fossil fuel).
"Kita semua ketahui fossil fuel non-renewable dan tak ramah lingkungan. Ini adalah momen yang tepat untuk Indonesia menjadi negara yang energy independent melalui sawit," tutur Syafi.
"Kita harus mengurangi ketergantungan kita terhadap Impor BBM. Saya tidak melihat kenapa kita tidak bisa menjadi energy exportir dan bukan energy importir, karena kita telah dikaruniai dengan produk yang renewable dan sangat efisien, yaitu sawit,” tambahnya.
Baca juga: Ahli Ingatkan Mitigasi Bencana, Gempa Banten M 6,6 Jadi Alarm untuk Selalu Waspada
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.