Tanggapan Komnas Perempuan Terkait Vonis Penjara Seumur Hidup untuk Herry Wirawan
Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Bandung akhirnya memvonis Herry Wirawan dengan hukuman penjara seumur hidup.
Penulis: Aisyah Nursyamsi
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kasus Herry Wirawan, yang melakukan tindak kekerasan seksual pada 13 santriwati telah divonis oleh majelis hakim dalam persidangan di PN Bandung, Selasa (15/2/2022)
Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Bandung akhirnya memvonis Herry Wirawan dengan hukuman penjara seumur hidup.
Terkait hal ini, Komnas Perempuan memberikan apresiasi atas keputusan tersebut. Karena hal ini merupakan bagian dari political will APH, yang merupakan upaya hakim dalam penghapusan kekerasan seksual.
Selain itu, putusan ini juga menunjukkan upaya sinergis pengadilan dengan pemulihan korban dalam bentuk restitusi. Serta perawatan alternatif bagi anak akibat kekerasan seksual tersebut.
"Di dalam putusan juga diatur tentang restitusi dan perawatan korban dan anaknya. Menurut kami juga baik. Jarang sekali putusan hakim atas kekerasan seksual mengatur hal ini," ungkap Komisioner Komnas Perempuan, Theresia Iswarini saat diwawancarai, Kamis (17/2/2022).
Ini juga berarti, upaya pemulihan korban dipastikan ada pasca putusan pengadilan.
Namun demikian, Komnas Perempuan memberikan catatan terkait restitusi korban.
Baca juga: KemenPPPA dan Keluarga Korban Herry Wirawan Minta JPU Upayakan Hukum Banding Vonis dan Restitusi
Sebaiknya restitusi dibebankan kepada terdakwa sebagai bentuk tanggungjawabnya dalam memulihkan korban.
Uang restitusi dapat diperoleh melalui penjualan harta terdakwa seperti rumah, tanah dan kendaraan.
Dibutuhkan pula peran Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) dalam mendampingi korban melakukan pengelolaan atas uang restitusi tersebut.
Sehingga dapat digunakan secara berkelanjutan. Catatan kedua terkait perawatan alternatif anak hasil kekerasan seksual.
Keterlibatan negara dalam hal ini melalui Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD )memberikan kepastian kehadiran negara.
"Namun demikian, tetap perlu dipertimbangkan persetujuan dari ibu si anak dan keluarganya. Karena dimungkinkan ada ibu dan keluarganya yang menginginkan perawatan dan pengasuhan terhadap anak tersebut," kata Theresia menambahkan.
Tentunya dengan proses pendampingan dari UPTD PPA. Penting juga bagi pemerintah untuk menghadirkan akta kelahiran anak dari korban sebagai pemenuhan hak adminitrasi induk.
"Terkait pidana seumur hidup bagi terdakwa, penting agar negara betul-betul menyiapkan sistem dan mekanisme yg memastikan terdakwa dapat menjalani hukuman dengan baik," pungkasnya.