Aturan Soal Pengeras Suara Masjid: Dari Penjelasan Kemenag, Respon KSP Hingga Pro Kontranya
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Rumadi Akhmad memastikan, substansi SE No 05/2022 itu tidak untuk melarang
Editor: Srihandriatmo Malau
"Meski demikian, dalam mewujudkan hal itu sesungguhnya tidak perlu sampai dilakukan secara eksesif, misalnya melalui intervensi negara yang mencampuri hingga urusan teknis soal peribadatan, tetapi cukup berangkat dari rasa kesadaran dan keterbukaan pikiran masyarakat, khususnya bagi pihak takmir masjid atau pengurus DKM,” lanjutnya.
Terkait dengan pentingnya mendukung inisiasi masyarakat dalam mewujudkan harmoni sosial, Bukhori lantas mengambil contoh inisiatif baik yang dilakukan oleh umat Islam di Bali yang tidak menggunakan pengeras suara ketika umat Hindu memperingati hari raya Nyepi dalam rangka penghormatan dan toleransi.
Begitupun sebaliknya dengan umat Hindu yang memaklumi penggunaan pengeras suara yang bersahutan oleh sejumlah masjid di Bali ketika menyambut peringatan hari raya Idul Fitri/Adha meskipun jumlah penganut muslim minoritas di sana.
Anggota Badan Legislasi ini juga menekankan, pengaturan pengeras suara tidak boleh disertai unsur pemaksaan, tetapi membutuhkan pendekatan dari hati ke hati.
Menurutnya, bagi pihak yang merasa terusik dapat menyampaikan rasa keberatannya secara santun kepada pihak takmir.
Demikian juga halnya dengan pihak takmir yang diharapkan untuk pengertian, bijaksana, dan berjiwa besar dalam merespons dinamika masyarakat yang terdampak oleh pengeras suara masjid/musala dengan merumuskan jalan keluar yang humanis dan tidak mengurangi esensi syiar agama sedikit pun.
“Kuncinya adalah menyerahkan urusan ini kepada masyarakat untuk mengaturnya melalui tradisi atau musyawarah mengingat setiap kampung/daerah berbeda kondisi sosio-kulturalnya antara satu dengan yang lainnya,” pungkasnya.(TIM TRIBUNNEWS.COM)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.