MK Buka Peluang Beri Legal Standing Ke Prinsipal Perorangan Dalam JR Terkait Presidential Threshold
(MK) membuka peluang untuk memberikan legal standing atau kedudukan hukum kepada prinsipal perorangan yang mengajukan permohonan pengujian UU
Penulis: Gita Irawan
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) membuka peluang untuk memberikan legal standing atau kedudukan hukum kepada prinsipal perorangan yang mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang (judicial review/JR) terhadap pasal 222 Undang-Undang (UU) nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terkait ambang batas pencalonan presiden atau Presidential Threshold (PT).
Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengungkapkan putusan Mahkamah nomor 66/PUU-XIX/2021 yang dibacakan pada 24 Februari lalu memang mengatakan yang punya legal standing adalah partai politik yang pernah menjadi peserta pemilu.
Putusan-putusan mahkamah, kata dia, juga menolak perorangan mempunyai legal standing karena dinilai tidak mempunyai kerugian hak konstitusional.
Namun demikian, ia membuka peluang MK bisa mengubah pendiriannya terkait hal tersebut apabila ada argumen kuat yang bisa menggugurkan putusan tersebut.
Hal tersebut terungkap dalam sidang sidang pengujian Undang-Undang (UU) terhadap pasal 222 UU 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terkait ambang batas pencalonan presiden atau Presidential Threshold (PT) yang diajukan oleh Budayawan Jaya Suprana di Mahkamah Konstitusi pada Selasa (8/3/2022).
"Mahkamah bisa berubah pendiriannya dari apa yang sudah diputuskan dalam putusan nomor 66, memberikan legal standing perorangan, kalau Pak Jaya bisa meyakinkan bahwa yang punya legal standing adalah tidak hanya partai politik yang sudah pernah ikut pemilu. Tapi perorangan sebagaimana Pak Jaya ini bisa punya legal standing," kata Arief disiarkan di kanal Youtube Mahkamah Konstitusi RI.
Baca juga: Hakim Enny Nurbaningsih Soroti Legal Standing Permohonan Jaya Suprana soal Presidential Threshold
Diberitakan sebelumnya Mahkamah Konstitusi (MK) memutus tak menerima gugatan presidential threshold dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang dimohonkan oleh Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Ferry Joko Yuliantono.
Putusan perkara nomor 66/PUU-XIX/2021 tersebut dibacakan dalam sidang putusan pada Kamis (24/2/2022).
Permohonan Ferry ditolak karena yang bersangkutan dinilai tak memiliki kedudukan hukum dalam mengajukan gugatan konstitusi terkait presidential threshold.
Hakim konstitusi Arief Hidayat mengatakan dalam mengajukan permohonan a quo Pemohon dalam hal ini Ferry berkedudukan sebagai perorangan warga negara Indonesia, meskipun yang bersangkutan menjabat sebagai Wakil ketua Umum Partai Gerindra, tapi tidak mewakili partai.
Arief menyampaikan bahwa subjek hukum yang punya hak konstitusional untuk mengajukan permohonan a quo adalah partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu.
"Subjek hukum yang mempunyai hak konstitusional untuk mengusulkan calon presiden dan wakil presiden dan oleh karenanya memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan norma yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon adalah partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu," kata Arief dalam sidang di Mahkamah Konstitusi, Kamis.
Ketentuan ini lanjutnya, secara eksplisit tercantum dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.
Pertimbangan MK soal kedudukan hukum ini lantaran pada Pemilu 2014 pemilih belum mengetahui bahwa hasil pemilihan legislatif akan digunakan sebagai syarat ambang batas untuk mengusulkan paslon presiden dan wakil presiden. Sehingga MK kala itu memberi kedudukan hukum bagi pemilih perseorangan.
Namun di Pemilu 2019, pemilih sudah mengetahui hasil pemilihan legislatif dipakai menentukan ambang batas pengusungan capres dan cawapres Pemilu 2024.
Pergeseran tersebut tertuang dalam pertimbangan putusan MK Nomor 74/PUU-XVIII/2020.
"Pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan berkenaan dengan persyaratan ambang batas untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, in casu, Pasal 222 UU 7/2017 adalah partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu."
Pertimbangan ini karena pihak yang bisa mengajukan calon presiden dan wakil presiden adalah partai politik atau gabungan parpol, bukan perseorangan sebagaimana amanat konstitusi Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.
"Sedangkan gugatan yang dilayangkan perseorangan dianggap punya kerugian hak konstitusional sepanjang bisa membuktikan didukung oleh parpol atau gabungan parpol untuk maju pencapresan, atau menyertakan bukti didukung parpol untuk mengajukan gugatan bersama," ucapnya.