Pentingnya Moderasi Beragama dan Kebangsaan Bagi Kalangan Millenial
Moderasi agama adalah suatu kebutuhan di tengah krisis humanisme dan radikalisme.
Penulis: Toni Bramantoro
Editor: Adi Suhendi
"Saya di sini berbicara sebagai mantan pelaku. Sebenarnya melihat fakta di lapangan, cukup prihatin. Mengapa ? Sebab banyak orang di luar terpapar radikalisme tetapi tidak menyadari," katanya.
Menurutnya, ada yang mengaku sangat pancasilais, tetapi ketika ditanya apakah agama kita dengan agama yang lain tuhannya satu atau beda? ternyata jawabannya ya beda.
Itu bukan hanya di masyarakat umum, tetapi juga di kementrian agama.
Ini juga bahkan terjadi di Forum Kerukunan Umat Beragama.
"Jadi mereka bertoleransi itu hanya di fisik, tetapi di pikirannya tetap berperang. Jadi mereka masih menganggap benar sendiri dan yang lain salah," kata Ken.
"Kita ini jujur saja, kita kurang duduk bersama sehingga salah persepsi. Misal, banyak orang mengatakan Tuhan Hindu itu ada banyak ada 3, tetapi ketika kita duduk kepada penganut aslinya, maka di sana ternyata hanya ada satu Tuhan. Ini salah," tutur Ken Setiawan.
Kemudian, terangnya, ada pandangan masyarakat yang sepertinya keliru.
Bahwa yang disebut radikal adalah jenggot, padahal bukan.
Radikal itu keinginan mengubah sesuatu untuk meruntuhkan sistem negara dan menggantikannya dengan sistem lain secara keseluruhan dengan cara kekerasan.
Ada juga yang terjadi, masyarakat kurang memahami kenapa orang-orang radikal juga tidak ditangkapi.
Padahal, harus mengerti bahwa proses itu semua regulasinya belum lengkap.
Mungkin bentuk-bentuk ormasnya sudah bisa ditangani, tetapi lebih jauh belum.
"Bayangkan, ada riset mengatakan bahwa pelajar 23,3% pelajar kita sudah setuju dengan pengubahan negara islam. Ada mahasiwa dengan angka yang tak jauh, kemudian disusul oleh pegawai hingga aparat. Itu parah. Bahkan bukan lagi terpapar, tapi tertangkat," jelasnya.
Soal penyebaran hoaks, ujaran kebencian terhadap pemerintah dan kelompok lain, itu juga penting.
Karena semua informasi hoaks dan adu domba tersebar di sini.
"Yang waras harus bergerak. Mereka itu padahal sedikit. Kita majority silent dan diam. Mereka itu sedikit, tetapi bekerja 24 jam. Makanya, sekali lagi kita semua harus lebih giat agar generasi kita bisa kembali lagi ke ahlusunnah wal jamaah," ujar Ken.