Soal Usulan e-Voting di Pemilu 2024, PDI-P: Harus Ada Masa Transisi Tidak Bisa Tiba-tiba
Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Hasto Kristiyanto menanggapi soal usulan e-voting di Pemilu 2024.
Penulis: Milani Resti Dilanggi
Editor: Daryono
TRIBUNNEWS.COM - Sekretaris Jenderal DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Hasto Kristiyanto menanggapi soal wacana internet voting atau e-voting di Pemilu 2024.
Hasto mengatakan e-voting dalam pemilu tidak boleh dilaksanakan secara tiba-tiba.
Ia menilai perlunya uji coba terlebih dahulu pada tingkat pemilihan kepala daerah (Pilkada) setingkat kota.
Kemudian, baru diuji coba di tingkat kabupaten, provinsi hingga tahapan nasional.
Baca juga: Soal Usulan Pakai e-Voting di Pemilu 2024, KoDe Inisiatif Sebut e-Rekap Lebih Bermanfaat
Baca juga: Pimpinan Komisi II Respons Usulan E-Voting di Pemilu 2024, Tapi Dorong Revisi UU Pemilu Ke Jokowi
Hal tersebut untuk mengukur sejumlah aspek di masyarakat untuk kematangan demokrasi.
"Jadi dalam skala pilkada kota dulu. Kemudian kabupaten, dan setelah itu diuji coba baru di tingkat nasional."
"Jadi selalu ada masa transisi tidak bisa mengubah aturan secara tiba-tiba," kata Hasto, Minggu (27/3/2022) malam, sebagaimana dilansir Kompas.com.
Hasto setuju jika ke depannya pemilu dilakukan melalui mekanisme e-voting.
Tetapi ia kembali menegaskan untuk implementasinya jangan terlalu terburu-buru.
"Kita tidak boleh buru-buru karena perubahan sistem itu harus melalui satu tahap-tahap dan melalui kepastian bahwa hal tersebut memang meningkatkan demokrasi kita," Tegas Hasto.
Hasto juga mengatakan jika Pemerintah ingin menggunakan sistem e-voting dalam pemilu maka harus melaksanakan sejumlah tahap.
Baca juga: Soal Wacana Penundaan Pemilu 2024, Cak Imin: Murni Ide Saya
Pertama, dia menyinggung soal edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat terkait mekanisme e-voting sebelum diterapkan.
"Harus dilakukan sosialisasi bagaimana sistemnya, bagaimana akuntabilitasnya,"
"Kemudian bagaimana menghindari adanya satu intervensi untuk melakukan manipulasi di dalam suara. Itu kan yang harus dipastikan terlebih dahulu," jelasnya.
Setelah itu, diperlukan kesepakatan bersama semua pihak terkait mekanisme e-voting.
Baca juga: Soal Usulan e-Voting di Pemilu 2024, KoDe Inisiatif: Rawan Manipulasi dan Ancaman Keamanan Tinggi
Di sisi lain, Hasto mengingatkan bahwa e-voting tidak boleh melupakan asas pemilu.
Yakni langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (luberjurdil).
"Sebagai gagasan, ya ini sebagai sebuah diskursus yang perlu kita tindak lanjuti di dalam membangun suatu wacana,"
"Selama hal tersebut meningkatkan akuntabilitas dari pemilu. Selama hal itu bisa memastikan pemilu berlangsung luberjurdil," katanya.
KoDe Inisiatif: e-Voting Rawan Manipulasi dan Ancaman Keamanan Tinggi
Diwartakan Tribunnews.com, Pelaksana tugas (Plt) Ketua Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif Violla Reininda menilai penggunaan e-voting dalam pemilu sarat potensi manipulasi suara.
Terlebih masih ada ancaman soal keamanan yang tinggi.
"Kami tidak menyarankan mekanisme e-voting untuk pemilu karena potensi manipulasi suara dan ancaman keamanan lainnya sangat tinggi," kata Violla , Jumat (25/3/2022).
Menurutnya pengolahan data dan hasil pemilu lewat e-voting sangat rawan dimanipulasi.
Alasannya sistem e-voting menggunakan seluruh perangkat elektronik, mesin, dan teknologi.
Baca juga: Penundaan Pemilu Serentak, Pertaruhan Besar Sejarah Bangsa
Di sisi lain, penggunaan e-voting juga membuat pemilih tak mengerti bagaimana suara konstitusi mereka diproses.
Apalagi tak ada bukti lain yang bisa digunakan sebagai pembanding guna memastikan keabsahan suara tersebut.
Sebelumnya, usualan pemungutan suara dengan sistem e-voting di Pemilu tahun 2024 datang dari Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate.
Usulan tersebut muncul karena sistem pemungutan suara elektronik sudah diterapkan di banyak negara.
(Tribunnews.com/Milani Resti/ Fransiskus Adhiyuda) (Kompas.com/Nicholas Ryan)