Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

MK Kabulkan Sebagian Permohonan Evi Novida Ginting dan Arief Budiman Terkait Putusan DKPP

Mahkamah Konstitusi (MK) RI mengabulkan sebagian permohonan Anggota KPU RI Periode 2017-2022 Evi Novida Ginting Malik dan Anggota KPU RI Periode 2017-

Penulis: Gita Irawan
Editor: Johnson Simanjuntak
zoom-in MK Kabulkan Sebagian Permohonan Evi Novida Ginting dan Arief Budiman Terkait Putusan DKPP
screenshot
Hakim Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman saat membacakan putusan terkait permohonan Djujur Prasasto yang disiarkan langsung dari YouTube MK, Selasa (29/3/2022). 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) RI mengabulkan sebagian permohonan Anggota KPU RI Periode 2017-2022 Evi Novida Ginting Malik dan Anggota KPU RI Periode 2017-2022 Arief Budiman dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Putusan tersebut tertuang dalam Putusan Nomor 32/PUU-XIX/2021 yang diucapkan dalam sidang Pengucapan Putusan/Ketetapan pada Selasa (29/3/2022).

"Amar Putusan. Mengadili. Satu. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Anwar Usman di kanal Youtube Mahkamah Konstitusi RI pada Selasa (29/3/2022).

Kedua, lanjut Usman, MK menyatakan ketentuan pasal 458 ayat (13) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Ketentuan tersebut, kata Usman, sepanjang tidak dimaknai, Putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (10) mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu adalah merupakan keputusan pejabat Tata Usaha Negara (TUN) yang bersifat konkret, individual, dan final, yang dapat menjadi objek gugatan di Peradilan TUN.

Ketiga, MK memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

"Empat. Menolak permohonan para Pemohon selain dan sebagainya," kata Usman.

Berita Rekomendasi

Di bagian konklusi, Anwar mengatakan berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah menyatakan sejumlah kesimpulan.

Baca juga: MK Kabulkan Penarikan Kembali Permohonan Djujur Prasasto Terkait Asas, Prinsip dan Tujuan Pemilu

Pertama, Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo.

Kedua, para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.

Ketiga, pokok permohonan beralsan menurut hukum untuk sebagian.

"Empat. Mahkamah menegaskan kembali putusan Mahkamah Konstitusi nomor 31/PUU-XI/2013 bertanggal 3 April 2014 dalam putusan a quo," kata Usman.

Hakim Konstitusi Saldi Isra sebelumnya menjelaskan bahwa para Pemohon mendalilkan frasa "final dan mengikat" yang terdapat dalam Pasal 458 ayat (13) UU 7/2017 bertentangan dengan pasal 1 ayat (3), pasal 22E ayat 1 dan ayat (5), pasal 27 ayat (1), pasal 28D ayat 1 UUD 1945 dengan sejumlah argumentasi.

Argumentasi dalam pokok permohonan para Pemohon tersebut, kata Saldi, pada pokoknya dirumuskan Mahkamah menjadi sejumlah rumusan.

Pertama, bahwa menurut Para pemohon kelembagaan DKPP menajdi superior atas penyelanggara pemilu lainnya. 

Hal tersebut, lanjut Saldi, dikarenakan adanya norma final dan mengikat putusan DKPP yang telah membuat tiga lembaga penyelenggara Pemilu tidak dalam kedudukan setara. 

Ketidaksetaraan itu merupakan pelanggaran atas ketentuan pasal 22E ayat (5) UUD 1945).

Kedua, bahwa menurut para Pemohon, Putusan DKPP final dan mengikat berakibat norma pasal 458 ayat (13) UU 7/2017 yang tanpa penjelasan pasal, tidak dapat ditafsir lain oleh Presiden, KPU RI, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu. 

Sehingga, lanjut dia, putusan DKPP a quo telah menimbulkan akibat hukum. 

"Padahal menurut para Pemohon, berdasarkan Putusan Mahkamah dan SEMA 4/2016 putusan DKPP dapat dimaknai sebagai keputusan tata usaha negara yang dapat diuji langsung ke peradilan TUN," kata dia.

Ketiga, bahwa menurut para Pemohon, kewenangan DKPP dengan putusan yang bersifat final dan mengikat mengakibatkan hilangnya mekanisme checks and balances.

Hal itu, lanjut Saldi, karena frasa final dan mengikat putusan DKPP telah membuat terciptanya lembaga DKPP yang tidak memiliki mekanisme checks and balances oleh karena lembaga lain termasuk oleh pengadilan.

Kekuasaan yang tidak terkontrol itu dinilai akan mengakibatkan terjadinya penyalahgunaan wewenang.

Keempat, bahwa menurut para Pemohon, putusan DKPP yang final dan mengikat telah membuat DKPP sering melakukan abuse of power dengan menerbitkan putusan yang melampaui kewenangan (ultra vires), cacat prosedur, dan cacat substansi, serta tak jarang melebihi tuntutan (ultra petita). 

Akibatnya, lanjut dia, DKPP justru melenceng dari tujuan awal pendiriannya. 

Dalam mengambil keputusan, lanjut Saldi, kemandirian KPU RI, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota, tidak boleh diintervensi oleh lembaga manapun termasuk DKPP. 

"Norma final dan mengikat putusan DKPP telah terbukti membuat KPU beserta jajarannya mempertimbangkan hal lain (putusan DKPP) ketika akan menetapkan sebuah keputusan," lanjut Saldi.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas