RUU TPKS Resmi Jadi Undang-Undang, Korporasi Bisa Dijerat Pidana, Denda Paling Banyak Rp 15 Miliar
Setelah palu diketuk, suara tepuk tangan membahana langsung terdengar di ruang rapat paripurna, RUU TPKS resmi jadi undang-undang.
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi undang-undang.
Pengesahan itu dilakukan dalam rapat paripurna DPR RI, Kompleks Parlemen Senayan, Jakatta, Selasa (12/4).
Ketua DPR RI sekaligus pimpinan rapat paripurna, Puan Maharani menanyakan kepada anggota dewan soal setuju atau tidak RUU TPKS menjadi undang-undang.
"Apakah Rancangan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dapat disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang?," kata Puan.
"Setuju," jawab anggota dewan peserta rapat paripurna.
Baca juga: UU TPKS Disahkan, Ketua DPR: Aturan Pelaksanaan Teknis Harus Segera Disusun Pemerintah
Puan pun lantas mengetuk palu sidang sebagai tanda persetujuan.
Setelah palu diketuk, suara tepuk tangan membahana langsung terdengar di ruang rapat paripurna tersebut.
Suara tepuk tanggan anggota dewan serta masyarakat umum yang hadir pun terdengar kencang.
Dari atas meja pimpinan sidang, Puan tampak melambaikan tangannya menyambut sambutan tepuk tangan tersebut.
Ketua Panja RUU TPKS Willy Aditya menyampaikan, bahwa RUU ini merupakan aturan yang berpihak kepada korban serta memberikan payung hukum bagi aparat penegak hukum.
Dimana, selama ini belum ada payung hukum untuk menangani kasus kekerasan seksual.
"Ini adalah kehadiran negara, bagaimana memberikan rasa keadilan dan perlindungan kepada korban kekerasan seksual yang selama ini kita sebut dalam fenomena gunung es," jelas Willy.
Baca juga: RUU TPKS Disahkan jadi UU, Komnas Perempuan: Kita Perlu Kawal Pelaksanaannya
Baca juga: RUU TPKS Disahkan Jadi UU, Legislator Golkar: Buah Perjuangan Perempuan di Seluruh Indonesia
Ada sembilan jenis kekerasan seksual yang diatur dalam UU TPKS.
Aturan ada di Pasal (4) Ayat (1) UU. Sembilan tindak pidana kekerasan seksual berdasarkan UU TPKS yakni pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, dan pemaksaan sterilisasi.
Selain itu, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, serta kekerasan seksual berbasis elektronik. Selain kesembilan jenis tindak pidana kekerasan seksual yang disebut dalam Ayat (1), terdapat 10 jenis kekerasan seksual lain yang tercantum dalam Pasal (4) Ayat 2, yakni perkosaan, perbuatan cabul, persetubuhan terhadap anak, perbuatan cabul terhadap anak, dan atau eksploitasi seksual terhadap anak, dan perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban.
Selain itu, pornografi yang melibatkan anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual, pemaksaan pelacuran, tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk ekspolitasi seksual, serta kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga. Ada pula tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan tindak pidana kekerasan seksual dan tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Korporasi Dipidana
UU TPKS juga turut mengatur tentang jerat pidana bagi korporasi yang melakukan TPKS. Aturannya ada di pasal 18. Dalam Pasal 18 Ayat (1) UU TPKS disebutkan, Korporasi yang melakukan Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp 5 lima miliar rupiah dan paling banyak Rp 15 miliar.
Kemudian dalam Ayat (2) disebutkan jika kekerasan seksual dilakukan oleh Korporasi, pidana dapat dijatuhkan kepada pengurus, pemberi perintah, pemegang kendali, pemilik manfaat Korporasi, dan/atau Korporasi.
"Selain pidana denda, hakim juga menetapkan besarnya restitusi pelaku Korporasi," demikian bunyi Ayat (3) UU TPKS. Dalam UU TPKS disebutkan, restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku atau pihak ketiga berdasarkan penetapan atau putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, atas kerugian materiil dan/atau imateriil yang diderita Korban atau ahli warisnya.
Sedangkan pada Ayat (4) disebutkan hukuman pidana tambahan bagi korporasi yang melakukan kekerasan seksual. Pidana tambahan itu berupa:
1. perampasan keuntungan dan/atau harta kekayaan yang diperoleh dari Tindak Pidana Kekerasan Seksual;
2. pencabutan izin tertentu;
3. pengumuman putusan pengadilan;
4. pelarangan permanen melakukan perbuatan tertentu;
5. pembekuan seluruh atau sebagian kegiatan Korporasi;
6. penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha Korporasi; dan/atau
7. pembubaran Korporasi. Definisi korporasi yang dimaksud tercantum dalam Pasal 1 tentang ketentuan umum UU TPKS. Yang dimaksud korporasi dalam beleid itu adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
Baca juga: Pimpin Rapat Paripurna Pengesahan RUU TPKS, Puan: Ini Momen yang Bersejarah bagi Bangsa
Pelaku perbudakan seksual juga kini bisa dijerat pidana dan terancam hukuman maksimal 15 tahun penjara melalui Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Aturannya tercantum di pasal 13.
"Setiap Orang secara melawan hukum menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya atau orang lain dan menjadikannya tidak berdaya dengan maksud mengeksploitasinya secara seksual, dipidana karena perbudakan seksual, dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)," demikian isi Pasal 13 UU TPKS.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga menyatakan, Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang disahkan memenuhi kebutuhan hukum masyarakat terkait kekerasan seksual.
Pasalnya, menurut Bintang, peraturan perundang-undangan yang ada saat ini belum sepenuhnya merespons fakta kekerasan seksual yang terjadi dan berkembang di tengah masyarakat.
"Oleh karena itu, diperlukan undang-undang khusus tentang tindak pidana kekerasan seksual yang mampu menyediakan landasan hukum, materiil dan formil sekaligus sehingga menjamin kepastian hukum dan memenuhi kebutuhan hukum masyarakat," kata Bintang.
Bintang menyebutkan, ada sejumlah terobosan yang tertuang dalam UU TPKS. Pertama, UU ini mengkualifikasikan tindak pidana kekerasan seksual dan tindak pidana lain yang dinyatakan sebagai tindak pidana kekerasan seksual. Sejumlah jenis kekerasan seksual yang diatur dalam UU TPKS antara lain pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan perkawinan, perbudakan seksual, serta kekerasan seksual berbasis elektronik.
Kedua, kata Bintang, UU TPKS mengatur hukum acara yang komprehensif mulai tahap penyidikan, penuntutan, hingga pemeriksaan di sidang pengadilan.
"Dengan tetap memperhatikan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, kehormatan, dan tanpa intimidasi," ujar Bintang.
Bintang melanjutkan, UU TPKS juga mengakui dan menjamin hak korban atas penanganan perlindungan dan pemulihan sejak terjadinya tindak pidana kekerasan seksual yang merupakan kewajiban negara.
Selain itu, UU TPKS juga mengatur perhatian yang besar terhadap penderitaan korban dalam bentuk pemberian restitusi, yakni ganti rugi yang harus dibayarkan pelaku tindak pidana kekerasan seksual bagi korban.
"Jika harta kekayaan terpidana yang disita tidak mencukupi biaya restitusi, negara memberikan kompensasi kepada korban sesuai dengan putusan pengadilan," kata Bintang.(Tribun Network/yud/mam/kps/wly)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.