Ruang Kebebasan Sipil Makin Menyempit, UU ITE Perlu Direvisi
Direktur Eksekutif SAFEnet, Damar Juniarto mengatakan ruang kebebasan sipil sepanjang empat tahun terakhir memang makin menyempit.
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Willy Widianto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Selama empat tahun ruang kebebasan sipil justru makin memburuk dengan dalih pandemi.
Mulai pembubaran demonstrasi, doxing, peretasan akun sampai pemidanaan.
Banyak pejabat menggunakan UU ITE untuk menjerat aktivis.
Hal ini jika dibiarkan akan mengarah kepada otoritarianisme digital.
Perhelatan G20 atau kelompok 20 negara dengan perekonomian terbesar, menjadi peluang bagi masyarakat sipil untuk mendorong agenda kebebasan masyarakat agar menjadi perhatian negara.
Pemerintah Indonesia, yang saat ini memegang Presidensi G20, perlu lebih memperhatikan hak-hak sipil dan mendorong negara-negara lain juga melakukan hal yang sama.
Baca juga: Koalisi Kebebasan Berpendapat: Perbedaan Pandangan tidak Bisa Jadi Alasan untuk Melukai Orang Lain
Puncak acara G20 yang akan digelar pada November nanti, menjadi kesempatan masyarakat Indonesia untuk meminta pemerintah agar makin peduli dengan isu-isu kebebasan sipil secara nyata.
Direktur Eksekutif SAFEnet, Damar Juniarto mengatakan ruang kebebasan sipil sepanjang empat tahun terakhir memang makin menyempit (shrinking civic space).
Menurut pantauan SAFEnet, pada 2018 kebebasan sipil sudah memasuki tahap waspada. Tahun lalu, alarm sudah menyala, kebebasan sipil sudah Siaga 2.
“Jika tak ada upaya serius, ini akan makin memburuk dan bisa mengarah ke Otoritarianisme Digital,” ujarnya, Rabu (20/4/2022).
Damar menjelaskan penggunaan teknologi digital oleh rezim otoriter untuk mengawasi, menekan, dan memanipulasi masyarakat. Otoritarianisme ini ditandai dengan penggunaan instrumen informasi, hukum, dan teknologi untuk menekan kebebasan sipil.
Baca juga: Fraksi PKS Ingatkan Indonesia & Dunia Internasional Jadikan Kebebasan Tidak Melanggar HAM
Dalam konteks Indonesia, penggunaan informasi ini misalnya dengan sensor online, menaikkan tagar (hashtag) tertentu, menggunakan jasa pendengung (influencer), atau bahkan propaganda berbasis komputer.
Sedangkan penggunaan teknologi contohnya adalah penyebaran informasi pribadi (doxing), peretasan akun, pencurian identitas atau nomor telepon, sampai mematikan internet.