Bupati Bogor Ade Yasin Susul sang Kakak Kena OTT KPK, ICW: Politik Dinasti Jadi Pintu Masuk Korupsi
Berikut tanggapan ICW soal penangkapan Bupati Bogor Ade Yasin dalam OTT KPK yang menyusul kakaknya.
Penulis: Inza Maliana
Editor: Tiara Shelavie
"Iya sebenarnya ICW sejak awal sudah menolak adanya modernisasi politik tertentu, sebab bukan tidak mungkin ada perdagangan pengaruh disana."
Baca juga: Bupati Bogor Ade Yasin Kena OTT KPK, Pengamat: Pastinya Sangat Mengagetkan Masyarakat
"Ada isu pembagian profesi tertentu kepada jaringan terdekatnya, yaitu keluarga mereka sendiri," tuturnya.
Terkait dugaan keterlibatan Ade Yasin dengan kasus kakaknya, Kurnia pun masih menunggu mengenai pernyataan resmi dari KPK.
"Kami sebenarnya melaihat hal ini menambah episode panjang, tapi kami lagi-lagi tetap menunggu pernyataan resmi dari KPK."
"Apakah ada kaitannya atau konsesi itu sudah terbentuk jauh-jauh hari, bahkan ketika keluarga yang bersangkutan menjabat sebagai pejabat publik tertentu," ungkapnya.
Sosok Ade Yasin
Lantas, seperti apa sosok Ade Yasin dan sepak terjangnya?
Ade Yasin dan wakilnya Iwan Setiawan resmi dilantik menjadi bupati dan wakil bupati Bogor oleh Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil di Gedung Sate, Bandung pada Minggu (30/12/2018).
Perumpuan yang lahir di di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 29 Mei 1968 ini merupakan adik kandung dari mantan Bupati Bogor Rahmat Yasin, yang menjabat dari 2008 hingga 2014.
Rahmat Yasin sendiri kini meringkuk di tahanan, setelah KPK mengeksekusi mantan Bupati Bogor itu ke Lapas Sukamiskin.
Rachmat sebelumnya divonis 2 tahun 8 bulan penjara atas kasus pemotongan anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah dan gratifikasi.
"Jaksa eksekusi KPK telah melaksanakan putusan PN Tipikor Bandung dengan cara memasukkan terpidana Rachmat Yasin ke Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1 Sukamiskin untuk menjalani pidana penjara selama dua tahun dan delapan bulan dikurangi selama berada dalam tahanan," ucap Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Kamis (8/4/2021) silam.
Rachmat ketika itu diduga meminta, menerima atau memotong pembayaran dari beberapa Satuan Kerja Perangkat Daerah sekitar Rp 8,93 miliar.
Uang itu diduga menggunakan uang itu untuk biaya kampanye pemilihan kepala daerah dan pemilihan legislatif yang diselenggarakan pada tahun 2013 dan 2014.