Hari Pendidikan Nasional dan Arti Semboyan Ki Hajar Dewantara, Tut Wuri Handayani
Hari pendidikan nasional dan arti semboyan Ki Hajar Dewantara, "Ing ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun karsa, Tut Wuri Handayani."
Penulis: Yunita Rahmayanti
Editor: Whiesa Daniswara
Sebagai figur dari keluarga bangsawan Pakualaman, Ki Hajar Dewantara memiliki kepribadian yang sederhana dan sangat dekat dengan rakyat (kawula).
Ia mengabdikan diri melalui pendidikan dan budaya lokal (Jawa) untuk mencapai kesetaraan sosial-politik dalam masyarakat kolonial.
Profesi yang digeluti oleh Ki Hajar Dewantara adalah dunia jurnalisme yang berkiprah di beberapa media cetak, di antaranya Sediotomo, de Express, Oetoesan Hindia, Midden Java, Tjahaja Timoer, Kaoem Moeda, dan Poesara yang melontarkan kritik sosial-politik kaum bumiputera kepada penjajah.
Selain sebagai wartawan, ia juga aktif di berbagai organisasi sosial dan politik.
Pada tahun 1908, Ki Hajar Dewantara aktif di seksi propaganda organisasi Boedi Oetomo untuk menyosialisasikan dan membangkitkan kesadaran masyarakat Indonesia tentang pentingnya kesatuan dan persatuan dalam berbangsa dan bernegara.
Baca juga: Cuti Lebaran 2022 untuk ASN, Karyawan Swasta, dan Anak Sekolah sesuai Kalender Pendidikan
Mendirikan Indische Partij
Ki Hajar Dewantara, Danudirdja Setyabudhi (Douwes Dekker), dan Cipto Mangoenkoesoemo mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran nasionalisme di Indonesia) pada 25 Desember 1912.
Partai ini bertujuan untuk kemerdekaan Indonesia, sehingga ditolak oleh Belanda karena dianggap dapat menumbuhkan rasa nasionalisme rakyat.
Setelah pendaftaran status badan hukum Indische Partij ditolak, Ki Hajar Dewantara ikut membentuk Komite Boemipoetra pada November 1913.
Komite ini sekaligus sebagai komite tandingan dari Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa.
Komite Boemipoetra mengkritik pemerintah kolonial Belanda yang merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis dengan menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut.
Ki Hajar Dewantara mengkritik melalui tulisannya yang berjudul Een voor Allen maar Ook Allen voor Een yang artinya (Satu untuk semua, tetapi semua untuk satu juga) dan Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda).
Akibatnya, ia menerima hukum interning atau hukum buang ke Pulang Bangka.
Baca juga: 30 Ucapan Selamat Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei: Pimpin Pemulihan, Bergerak untuk Merdeka Belajar
Mendirikan Taman Siswa