Formappi Sebut Kinerja Legislasi DPR Masa Sidang IV Tidak Pantas Diapresiasi
Peneliti Formappi Djadijono menyebut, kinerja legislasi DPR pada Masa Sidang tersebut tidak layak diapresiasi.
Penulis: Chaerul Umam
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menyoroti kinerja fungsi legislasi DPR pada Masa Sidang IV Tahun Sidang 2021-2022.
Peneliti Formappi Djadijono menyebut, kinerja legislasi DPR pada Masa Sidang tersebut tidak layak diapresiasi.
Sebab, DPR hanya mengesahkan tiga Rancangan Undang-Undang (RUU) menjadi Undang-undang di Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2022.
Ketiga RUU itu yaitu RUU Ibu Kota Negara, RUU Keolahragaan, dan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
"Kinerja legislasi DPR tidak pantas diapresiasi karena dari 40 RUU dalam Prolegnas Prioritas tahun 2022 baru 3 RUU yang dapat disahkan," kata Djadijono dalam konferensi pers secara daring, Kamis (12/5/2022).
Djadijono menyebut, beban penyelesaian pembahasan RUU-RUU prolegnas Prioritas Tahun 2022 masih cukup banyak.
Belum lagi adanya beberapa RUU yang sangat mendesak untuk diselesaikan pembahasannya seperti RUU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), PDP dan Revisi atas UU Cipta Kerja.
"Karena itu 40 RUU Prolegnas Prioritas Tahun 2022 hampir pasti tidak dapat diselesaikan," ujarnya.
Di sisi lain, Formappi juga mengkritik pembahasan Revisi UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP).
Baca juga: Formappi: Ada Kongkalikong Proses Tender Pengadaan Gorden Rumah Jabatan Anggota DPR RI
Dalam waktu singkat dapat disetujui oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR bersama pemerintah untuk segera disahkan Rapat Paripurna (Rapur) menjadi Undang-undang dalam rangka merespon putusan Mahkamah Konstitusi atas UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja.
Djadijono menilai, keputusan Pembahasan Tingkat I terhadap Revisi UU PPP tersebut merupakan langkah DPR dan pemerintah yang sangat ceroboh dan tidak memahami amar putusan Mahmakah Konstitusi (MK) tertanggal 25 November 2021 terhadap perkara Nomor 91/PUU-XVIII/2020.
Sebab putusan MK menyatakan bahwa UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja cacat secara formil dan dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan.
"Jadi perintah MK bukan untuk merevisi UU PPP tetapi memperbaiki UU Cipta Kerja," tandasnya.