Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Wamenkumham: Aktivis HAM Itu Bertolak Belakang Dengan Aktivis Antikorupsi Soal Pidana Mati

Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) kebanyakan bertolak belakang dengan aktivis antikorupsi soal pidana mati.

Penulis: Larasati Dyah Utami
Editor: Johnson Simanjuntak
zoom-in Wamenkumham: Aktivis HAM Itu Bertolak Belakang Dengan Aktivis Antikorupsi Soal Pidana Mati
Tangkapan Layar
Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Syarif Hiariej dalam webinar yang digelar oleh ICJR bertajuk Paparan Rancangan RUU Narkotika Rekomendasi Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN), Selasa (22/2/2022). 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) kebanyakan bertolak belakang dengan aktivis antikorupsi soal pidana mati.

Hal ini disampaikan Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkum HAM) Eddy O.S. Hiariej, saat mengisi webinar terkait “Indonesia Way” Pembaruan Politik Hukum Mati melalui RKUHP, Selasa (24/5/2022).

Ia menjelaskan alasan pemerintah berkomitmen untuk memberikan jalan tengah yang bersifat ‘Indonesia Way’ bagi kelompok yang pro dan kontra terhadap pidana mati.

Pasalnya, persoalan pidana mati ini adalah persoalan yang secara hukum itu sangat penuh perdebatan.

“Karena apa, kita akan dihadapkan pihak yang ingin menghapus pidana mati dan pihak yang ingin tetap mempertahankan pidana mati,” kata Wamenkum HAM yang juga menjadi Ketua Umum Tim Perumus RKUHP.

Eddy mengatakan bahwa teori dasar yang digunakan oleh kedua pihak ini sama kuatnya.

Oleh karena itu dengan mengutip pernyataan dari pak Muladi, bahwa dalam RKUHP yang akan dibahas di DPR adalah pidana mati yang Indonesia way atau cara Indonesia.

Berita Rekomendasi

“Saya kasih contoh konkrit saja teman-teman, aktivis HAM itu bertolak belakang dengan aktivis antikorupsi. Aktivis antikorupsi itu selalu berteriak pengen koruptor dihukum mati, tetapi aktivis HAM itu sebaliknya tidak boleh ada pidana mati,” kata Eddy.

Baca juga: Kemenkumham: RKUHP Dibahas Setelah Revisi UU Cipta Kerja Rampung

“Artinya apa, sesama teman-teman aktivis saja tidak ada satu kata soal pidana mati ini,” lanjutnya.

Hal kedua yang dijelaskan Wamenkum HAM, bahwa persoalan pidana mati ini bukan persoalan hukum, tapi ada beberapa persoalan, yang diantaranya ada persoalan religi, sosial, dan politik.

Pada kisaran tahun 2016, telah dilakukan survei terkait pidana mati terhadap 100 responden.

Dari survei tersebut ditemukan hasil yang intinya adalah 80 % setuju dengan pidana mati.

Namun, terhadap responden yang sama, terkait pertanyaan: ‘Apakah saudara setuju kalau teroris dijatuhkan pidana mati?’ dari 80 % yang setuju dengan pidana mati itu tidak setuju teroris dipidana mati.

“Yang setuju itu hanya 27 persen. Artinya apa, ini bukan hanya masalah hukum, ada persoalan religi di sini, ada persoalan politik, ada persoalan sosial kemasyarakatan. Oleh karena itu kita mengambil jalan tengah (Indonesia way) dalam merumuskan pidana mati, satu adalah pidana khusus, bukan pidana pokok, bukan pidana tambahan,” ujarnya.

Eddy menjelaskan, disebut pidana khusus, karena pidana harus secara selektif dijatuhkan dan ada masa percobaan.

Pidana mati bukan lagi sebagai pidana pokok, tetapi pidana khusus yang selalu diancamkan secara alternatif (Pasal 64, Pasal 67, Pasal 98 RKUHP per September 2019).

Baca juga: Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco: RKUHP Akan Diselesaikan Tahun 2022

Mekanisme komutasi/perubahan bentuk hukuman dari pidana mati menjadi pidana jenis lain dalam hal terpidana mati tidak dieksekusi setelah 10 tahun masa percobaan dalam deret tunggu (Pasal 100 – 101 RKUHP per September 2019).

“Salah satu alasan atas mengapa 10 tahun, kita merujuk ada putusan MK, bahwa itu nanti ada penilaian dan lain sebagainya kami setuju, bahwa penilaian itu akan dilakukan oleh lapas dan tentunya adalah pembimbing kemasyarakatan,” ujarnya.
 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas