Pontjo Sutowo: Agama Harus Dijadikan Sebagai Kerangka Nilai dan Norma dalam Kehidupan Bermasyarakat
Berbagai hasil riset menunjukkan bahwa terjadi peningkatan peristiwa dan tindakan intoleransi dalam 15 tahun terakhir.
Penulis: Eko Sutriyanto
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Berbagai hasil riset yang dilakukan Setara Institute, Wahid Foundatian, dan CRCS-UGM, menunjukkan bahwa terjadi peningkatan peristiwa dan tindakan intoleransi dalam 15 tahun terakhir.
Menguatnya politisasi identitas, khususnya identitas keagamaan sejak tahun 2012 dalam berbagai hajatan elektoral di tingkat lokal dan nasional melahirkan polarisasi dan fragmentasi sosial-kemasyarakatan-kebangsaan.
Jika dibiarkan, dinamika politik ini dinilai akan cukup mengganggu dalam hal keamanan nasional yang pada gilirannya berpotensi memecah belah kesatuan dan persatuan bangsa.
Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo mengatakan, ketuhanan dan keberagamaan yang sebagai dasar bagi pembangunan kemanusiaan, kebangsaan, demokrasi, dan keadilan sosial kini justru diinstrumentasi oleh berbagai kelompok untuk tujuan-tujuan-tujuan sebaliknya, seperti sebagai alat politik kekuasaan.
Baca juga: Cegah Polarisasi hingga Ujaran Kebencian Jelang Pemilu 2024, Polri Bakal Bentuk Satgas Nusantara
"Kondisi ini harus diatasi dengan melakukan revitalisasi peran dan fungsi agama dalam membangun peradaban bangsa. Agama harus dijadikan sebagai kerangka nilai dan norma dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara," kata Pontjo dalam sambutan tertulis yang dibacakan pakar Aliansi Kebangsaan Mayjen TNI (Purn) I Dewa Putu Rai pada FGD bertema Agama sebagai Kekuatan Pemersatu Bangsa dan Penggerak Pemajuan Peradaban Bangsa dengan Paradidma Pancasila secara daring belum lama ini.
Mengutip The Encyclopedia of Religion, Pontjo menyebut hubungan agama dengan negara dalam praktik kehidupan kenegaraan masa kini dapat dipolakan ke dalam tiga bentuk yakni integrated, dimana terjadi penyatuan antara agama dan negara dalam wajah negara teokrasi; intersectional, terjadi persinggungan antara agama dan negara, dan secularistic yang memisahkan secara diskrit agama dengan negara.
Baca juga: Mahfud MD: Terlalu Toleran dengan Polarisasi Ideologi Akan Repotkan Pemerintah
"Dari tiga praktik kehidupan kenegaraan tersebut, para pendiri negara telah bersepakat untuk tidak menjadikan Indonesia sebagai negara teokrasi dan tidak pula negara sekuler," katanya.
Ketua Forum Rektor Indonesia, Panut Mulyanto mengatakan, agama sejatinya dapat menjadi kekuatan pemersatu bangsa.
Keragaman agama oleh para pendiri bangsa diharapkan akan menguatkan bangsa Indonesia untuk lebih cepat mencapai kejayaan.
“Yang terjadi saat ini, hal-hal yang dikaitkan dengan agama bagi sebagian kecil warga negara menimbulkan paham radikalisme dan sikap intoleran bahkan anti-Pancasila,” kata Panut.
Panut menilai peran lembaga pendidikan mulai dari PAUD hingga pendidikan tinggi penting untuk menanamkan nilai-nilai Pancasila ini serta bagaimana para penganut agama menjalankan ajaran agamanya dengan benar.
Baca juga: Cegah Polarisasi di Pilpres 2024, Pengamat Ingatkan Partai Nasionalis Jangan Sampai Salah Strategi
Cendekiawan muslim, Azyumardi Azra mengatakan, keragaman agama tersebut telah menimbulkan ikatan solidaritas bangsa Indonesia yang demikian kuat, yang tidak ditemukan di negara lain termasuk benua Eropa.
“Di Indonesia, agama tidak memecahbelah bangsa tetapi justeru telah menjadi ikatan solidaritas dan pemersatu penduduk Indonesia. Kondisi ini berbeda di Eropa saat perbedaan agama memicu munculnya negara-negara baru," kata Azyumardi.
Dengan Pancasila, kata Azyumardi dipastikan Indonesia bukanlah negara berdasarkan agamajuga tidaklah negara murni sekular.
“Mayoritas mutlak warga dan pemimpin Indonesia menerima Pancasila sebagai final untuk dasar negara Indonesia,” kata Prof Azyumardi.
Selain menghadirkan Prof Azyumardi, FGD tersebut juga menampilkan narasumber lain yakni Dr Wawan Djunaedi MA, Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Kemenag RI, Dewi Kanti Setianingsih, tokoh penghayat Sunda Wiwitan, Komisioner Komnas Perempuan RI, Pdt Jacky Manuputty, Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Suhadi Sendjaja, Ketua Umum Parisadha Buddha Dharma NSI dan Dr Sita Hidayah, Antropolog Universitas Gadjah Mada (UGM).
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.