Komnas Perempuan Harap Revisi KUHP Akan Memuat Aturan Tegas yang Larang Penyiksaan
Andy Yentriyani berharap revisi KUHP yang saat ini tengah digodok pemerintah dan DPR memuat aturan yang lebih tegas yang melarang adanya penyiksaan
Penulis: Gita Irawan
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani berharap revisi KUHP yang saat ini tengah digodok pemerintah dan DPR memuat aturan yang lebih tegas yang melarang adanya penyiksaan.
Ia mengatakan, selama ini pengaturan secara spesifik tentang penyiksaan hanya dikenali oleh beberapa hukum yang sangat spesifik misalnya Undang-Undang (UU) Pengadilan HAM atau UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang juga memidanakan penyiksaan seksual.
Akan tetapi, kata dia, di dalam KUHP kata penyiksaan sebagai sebuah tindak pidana belum dikenali.
Hal tersebut disampaikannya usai media briefing dalam rangka memperingati Hari Anti Penyiksaan Internasional oleh Tim KuPP yang terdiri dari Komnas Perempuan, Komnas HAM, Ombudsman RI, LPSK, dan KPAI bersama Komisi Nasional Disabilitas (KND) di Cikini Jakarta Pusat pada Jumat (24/6/2022).
"Karena itu kita berharap revisi dari KUHP ini juga akan memuat tentang pengaturan yang lebih tegas yang melarang adanya penyiksaan," kata Andy.
Baca juga: Wamenkumham Sebut Revisi KUHP Disahkan Paling Lambat pada Juni Tahun Ini
Andy mengatakan meskipun Indonesia sudah meratifikasi konvensi untuk menentang penyiksaan, penghukuman, maupun perlakuan lain yang kejam dan tidak manusiawi, namun negara bel meratifikasi protokol opsional konvensi anti penyiksaan sebagai kelengkapan dari konvensi tersebut.
Prokol opsional tersebut, kata dia, secara khusus sebetulnya mengatur tentang mekanisme nasional untuk pencegahan penyiksaan.
Di dalamnya, kata dia, termasuk misalnya adanya kewenangan dari mekanisme tersebut untuk melakukan inspeksi mendadak atau upaya-upaya lain yang dianggap penting dan dapat membantu pencegahan penyiksaan.
Saat ini, kata dia, pengaturan tentang mekanismenya sendiri belum ada di Indonesia.
Namun demikian, kata dia, sudah ada gagasan dari lima lembaga negara dalam hal ini Komnas Perempuan, Komnas HAM, KPAI, Ombudsman, dan LPSK untuk membentuk kerja bersama guna mencegah penyiksaan.
Hal yang dilakukan lima lembaga tersebut, kata dia, di antaranya melakukan interaksi secara intensif dengan Kemenkumham yang menaungi Lembaga Pemasyarakatan dan juga dengan kepolisian.
"Jadi dengan ratifikasi optional protocol ini justru akan memberikan kekuatan lebih pada mekanisme nasional untuk mencegah penyiksaan," kata Andy.
Baca juga: Komnas Perempuan: RKUHP Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Janin Harus Lebih Ditegaskan
Pada kasus-kasus yang melibatkan perempuan sebagai tahanan, kata dia, ada kemungkinan mereka mengalami kekerasan.
Kekerasan tersebut, lanjut dia, biasanya rekat dengan kasus-kasus yang dihadapi komunitas dalam konflik sumber daya alam, infrastruktur dan juga agraria.
Selain itu, kata dia, berdasarkan pengalaman Komnas Perempuan melihat perempuan juga bisa menjadi korban proxy untuk penyiksaan.
"Maksudnya korban proxy begini, dia korban antara. Yang ditahan misalnya anggota keluarga yang laki-lami, tapi kemudian yang dihukum atau diintimidasi yang perempuannya dengan maksud untuk memberikan tekanan kepasa pihak laki-laki agar segera memberikan informasi yang dibutuhkan ataupun tunduk pada tekanan kuasa itu," kata dia.