Awal Mula Terungkapnya Kasus Bullying, Kondisi Korban Sebelum Meninggal & Desakan Usut hingga Tuntas
Sejumlah pihak meminta agar kepolisian mengusut tuntas kasus meninggalnya bocah SD di Tasikmalaya karena depresi akibat bullying.
Editor: Dewi Agustina
"Tahapan-tahapannya harus dilalui," katanya.
DPR minta polisi usut tuntas
Wakil Ketua Komisi X DPR RI Fraksi Partai Demokrat Dede Yusuf meminta pihak kepolisian turun tangan dan mengusut tuntas kasus tersebut.
"Saya prihatin sekali dengan kasus perundungan yang makin marak ini. Sepertinya memang polisi harus turun tangan dan menelusuri pembuat dan penyebar video tersebut. Tidak sulit kok jika polisi turun," kata Dede Yusuf saat dihubungi Tribun, Kamis (21/7/2022).
Dede Yusuf mengingatkan agar ada pendekatan yang berbeda jika pelaku masih anak-anak.
"Hukum tetap harus dijalankan, sesuai aturan dan jika kenakalan anak-anak yang terjadi, maka harus ada koreksi yang dilakukan nantinya. Agar tidak terjadi lagi perundungan yang keterlaluan seperti itu," katanya.
Kasus serius
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Reza Indragiri Amriel angkat bicara soal nasib bocah berumur 11 tahun di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, depresi hingga akhirnya meninggal dunia.
Menurutnya, dua tahun, selama pandemi, tak ada peristiwa bullying.
"Tapi barangkali selama itu pula anak-anak menyaksikan berbagai ketidaksemenggahan perilaku manusia di media sosial. Imajinasi mereka terpupuk menjadi sedemikian liar," kata Reza Indragiri Amriel dalam keterangan yang diterima, Kamis (21/7/2022).
Baca juga: Mengganggu Psikologis Karyawan, Ini Cara Menghadapi Workplace Bullying
Reza Indragiri Amriel menyoroti kata 'bullying' yang dinilai terdengar lucu sebagian orang.
"Tidak mengesankan sebagai sesuatu yang parah, serius, dan mengerikan. Alhasil, kita seolah mengalami desensitisasi akibat malah akrab dengan bunyi yang lucu ketika kata itu diucapkan. Bullying toh juga bukan istilah hukum," katanya.
Untuk itu dirinya mengajak untuk menghentikan penggunaan kata yang malah mengundang salah kaprah atau bahkan penyepelean itu.
"Pakai saja, sebagai gantinya, istilah hukum. Misalnya kekerasan atau bahkan kejahatan, betapa pun kata itu tidak bisa dikenakan ke anak-anak. Ke anak-anak, sebutan yang boleh dipakai adalah kenakalan atau delinkuensi. Tapi itu pun tidak sepenuhnya mewakili bobot keseriusan fenomena dimaksud," ujarnya.
Reza menambahkan, perundungan terhadap anak adalah kasus yang serius.
Pertama, potret anak-anak itu sebagai orang yang diduga melakukan setidaknya empat tindak pidana.
Yaitu, kejahatan seksual, kekerasan fisik, penganiayaan yang mengakibatkan orang meninggal dunia, dan penganiayaan terhadap satwa.
"Ingat, satwanya jangan dinihilkan," katanya
"Kedua, setara dengan perbuatan mereka, bawa para pelaku yang berusia anak-anak itu ke proses hukum. Jangan diversi. Harus litigasi. Orang tua mereka harus hadir pada setiap tahap proses litigasi tersebut," kata Reza.
"Kelak, andai anak-anak itu divonis bersalah, terapkan kombinasi antara restorative justice dan incapacitation. Siang direstorasi (dididik dan diharuskan membayar ganti rugi kepada korban), malam dimasukkan ke bui," katanya.
Lebih lanjut Reza mengaku tak yakin bahwa mengembalikan anak pelaku perundungan ke rumahnya dan membina mereka selama enam bulan akan efektif.
"Tapi UU SPPA sendiri boleh jadi tidak menyediakan jalan-jalan yang melampaui hukum. So, revisilah UU SPPA," ujarnya.
Sebagian artikel ini telah tayang di Surya.co.id dengan judul 4 FAKTA Bocah SD Dipaksa Setubuhi Kucing sampai Depresi dan Meninggal Dunia, Suara Pelaku Dikenali