Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Hadapi Ketidakpastian Global, Pemerintah Diminta Buat Kerangka Regulasi Cadangan Energi dan Pangan

Krisis tersebut diakibatkan oleh ketidakpastian global mulai dari Pandemi Covid-19 yang belum berakhir hingga adanya perang antara Rusia dan Ukraina.

Penulis: Taufik Ismail
Editor: Wahyu Aji
zoom-in Hadapi Ketidakpastian Global, Pemerintah Diminta Buat Kerangka Regulasi Cadangan Energi dan Pangan
dok. Kementan
Ilustrasi. 

Laporan Wartawan Tribunnews, Taufik Ismail

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) berulangkali mengingatkan akan adanya ancama krisis pangan dan energi.

Krisis tersebut diakibatkan oleh ketidakpastian global mulai dari pandemi Covid-19 yang belum berakhir hingga adanya perang antara Rusia dan Ukraina.

Penasihat senior lembaga kajian LAB 45, Makmur Keliat menyebut bahwa kondisi perekonomian dan geopolitik global punya dampak bagi Indonesia.

Misalnya, konflik di Ukraina yang berpengaruh pada pasokan energi dan harga pangan dunia. Tak main-main, kenaikan harga ini jadi yang paling tinggi dalam 21 tahun terakhir.

"Dari Januari 2022 sebenarnya sudah terlihat tren kenaikan energi meningkat ke atas," jelas Makmur, Jumat, (22/7/2022).

Kenaikan harga pangan dan energi itu, lanjut Makmur, menjadi indikator dari banyak laporan di tingkat internasional bahwa ekonomi dunia saat ini sedang mengalami krisis.

Berita Rekomendasi

Kondisi tersebut kecil kemungkinannya mereda dalam waktu dekat karena perang antara Rusia dan Ukraina masih terjadi.

"Kita bisa lihat peningkatannya luar biasa, saya kira mudah-mudahan bisa menurun seterusnya. Tetapi saya tak bisa berharap banyak karena perang terus berlanjut," tambah dia.

Oleh karena itu kata dia, di tengah situasi krisis ekonomi global, Indonesia diharapkan membuat kerangka regulasi mengenai cadangan energi dan pangan, serta dalam membuat proyeksi ke depan harus selalu mempertimbangkan geopolitical risk.

Baca juga: Program Pangan Dunia Tingkatkan Kewaspadaan Terhadap Potensi Krisis Pangan di Tahun 2023

“Jadi ekonomi makro tidak bisa atau tidak berada dalam ruang hampa geopolitical. Maka asesmen ke depan harus memasukkan variabel geopolitical risk” ujarnya.

Sementara itu Direktur Eksekutif Next Policy Fithra Faisal Hastiadi mengatakan meskipun Indonesia mengalami inflasi namun kondisinya tidak seperti yang dialami negara lain.

Indonesia masih memiliki stok komoditas yang berlebih seperti batu bara dan produk pertanian.

"Dari situ kita lihat kondisi over supply, dari input secara umum over supply, pupuk kita masih tersedia, bahkan mau diekspor. Bahkan Pak Jokowi menargetkan swasembada beras," kata dia.

Namun, dia mengingatkan jika tren ekspor komoditas terus dilakukan lantaran berlebihnya pasokan bakal berpotensi menyebabkan kelangkaan di akhir tahun 2022 hingga 2023.

Terkait dengan kemungkinan resesi akibat krisis, Indonesia memiliki kemungkinan kecil. Survei yang dilakukan para ekonom menyebut Indonesia hanya memiliki kemungkinan 3 persen mengalami resesi dibandingkan dengan Sri Lanka yang mencapai 85 persen.

"Tapi pak Jokowi ada benarnya, ini kita harus waspada," jelas dia.

Baca juga: CEO ConocoPhillips Ingatkan Bahaya Krisis Minyak dan Volatilitas Harga

Dari sisi politik, Dekan Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) Wawan Mas'udi mengatakan fenomena mundurnya PM Inggris Boris Johnson dan Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa, menjadi pembelajaran bahwa kemampuan dari sebuah rezim untuk bisa menjaga legitimasi publik adalah kunci untuk mempertahankan rezim itu sendiri.

"Sifat yang tidak konstan namun fleksibel ini sangat menentukan arah policy ini dibawa ke mana," kata dia. (*)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas