Dalam Perkara Mardani Maming, KPK Dinilai Delegitimasi Perjanjian Bisnis
Langkah KPK memperkarakan Mardani Maming dalam dugaan suap terkait pelimpahan Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Kabupaten Tanah Bumbu, Kalsel, disorot.
Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Malvyandie Haryadi
Meskipun demikian, KPK berkukuh perjanjian kerja sama formal itu cuma bungkus untuk menampung aliran uang suap yang diberikan oleh Almarhum Henry Soetio sebagai Direktur PT PCN kepada Mardani Maming.
Dari transaksi bisnis diantara empat perusahaan yang terafiliasi dengan Mardani Maming dengan PT PCN, KPK mencatat total uang lebih daripada 104 miliar rupiah.
Dari semua catatan transfer yang diperoleh KPK, tak ada satu pun catatan yang menunjukkan nama Mardani Maming sebagai penerima.
“Jadi, seluruhnya memang transaksi antarperusahaan, business to business,” kata Abdul Qodir.
“Oleh karena itu, bagi kami, ini upaya mendelegitimasi perjanjian bisnis.”
Pendapat kuasa hukum Mardani Maming diperkuat dengan keterangan ahli Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan Kepailitan, Teddy Anggoro, dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis 21 Juli 2022.
Teddy mengatakan, dengan adanya perjanjian yang dibuat antarperusahaan, maka urusan tersebut masuk ke dalam wilayah perdata.
Ahli perbankan yang dihadirkan KPK ke persidangan pada Jumat, 22 Juli 2022, Yunus Husein, menyampaikan bahwa perusahaan yang dijadikan sarana untuk menyimpan uang hasil kejahatan biasanya memiliki ciri-ciri seperti melakukan transaksi tunai dalam jumlah besar ke rekening individu-individu yang berbeda dan tidak memiliki underlying (kegiatan yang mendasari ) transaksi yang jelas.
Yunus mencontohkan kasus korupsi proyek Hambalang, dimana terpidana anggota DPR Muhammad Nazaruddin mendirikan puluhan perusahaan dan kerap melakukan transaksi secara tunai dalam jumlah besar.
Anggota tim kuasa hukum lainnya, Denny Indrayana, mengatakan keterangan ahli dari KPK, Yunus Husein, justru memperkuat argumen mereka bahwa perkara Mardani Maming murni bisnis semata. Itu karena transaksi keempat perusahaan tersebut didasarkan atas underlying transaksi yang jelas (bisnis pengelolaan pelabuhan batu bara), perjanjian formal, dan menggunakan rekening perusahaan.
“Nanti akan kami buktikan bahwa ini memang transaksi bisnis karena dicatat, tidak dalam bentuk tunai, dan jelas siapa yang menerimanya,” kata mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM itu.
Selanjutnya, KPK juga menganggap bahwa Almarhum Henry Soetio memahami semua transaksi bisnis itu sebagai imbal balik atas pelimpangan IUP yang diperoleh PT PCN.
“Persoalannya, dari mana KPK bisa mengkonfirmasi itu adalah pemahaman Henry Soetio sementara yang bersangkutan sudah meninggal dunia pada 2021,” kata Abdul Qodir.
Abdul Qodir secara retoris juga bertanya bagaimana bisa suap-menyuap dicatatkan dalam sebuah perjanjian yang jelas. B
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.