Perjalanan Kasus ACT hingga Ahyudin dan Ibnu Khajar Jadi Tersangka, Dana Donasi Diselewengkan
Simak perjalanan kasus ACT hingga Ahyudin dan Ibnu Khajar ditetapkan tersangka. Bermula dari pemberitaan media nasional soal penyelewengan dana donasi
Penulis: Pravitri Retno Widyastuti
Editor: Tiara Shelavie
TRIBUNNEWS.COM - Berikut perjalanan kasus lembaga kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap (ACT) hingga menetapkan mantan pendiri ACT, Ahyudin, dan Presiden ACT, Ibnu Khajar, menjadi tersangka.
Pada Senin (25/7/2022), Ahyudin, Ibnu, serta dua anggota pembina ACT berinisial HH dan NIA, ditetapkan sebagai tersangka terkait kasus dugaan penyelewengan dana.
Dilansir Tribunnews.com, keempatnya disangkakan melanggar pasal tindak pidana penggelapan, ITE hingga pencucian uang.
"Persangkaan pasal tindak pidana penggelapan dan atau penggelapan dalam jabatan dan atau tindak pidana informasi dan transaksi Elektronik dan atau tindak pidana yayasan dan atau tindak pidana pencucian uang," kata Karo Penmas Divisi Humas, Polri Brigjen Pol Ahmad Ramadhan, di Mabes Polri, Jakarta, Senin (25/7/2022).
Sementara itu, Wakil Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri, Helfi Assegaf, menyatakan para tersangka terancam hukuman paling lama selama 20 tahun penjara.
"Kalau TPPU sampai 20 tahun dan penggelapan 4 tahun," pungkasnya.
Baca juga: Peran Ahyudin dan Ibnu Khajar: Pangkas Donasi ACT 30 Persen dan Selewengkan Uang Korban Lion Air
Dirangkum Tribunnews.com, simak perjalanan kasus ACT berikut ini:
Trending di media sosial
Pada Minggu (3/7/2022), tagar Jangan Percaya ACT trending di media sosial Twitter.
Lembaga kemanusiaan ini menjadi sorotan usai media nasional memberitakan soal dugaan penyelewengan dana donasi.
Dikutip dari WartaKota, disebut para CEO ACT menerima gaji mencapai Rp250 juta dan pejabat mendapat Rp80 juta per bulan.
Selain gaji fantastis, CEO dan pejabat ACT dikabarkan juga mendapat fasilitas mobil Alphard dan Fortuner.
PPATK: Diduga untuk Keperluan Pribadi dan Aktivitas Terlarang
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Ivan Yustiavandana, mengatakan dugaan penyelewengan dalam ACT dipakai untuk keperluan pribadi dan aktivitas terlarang.