Jaksa KPK Tuntut Mantan Pejabat Adhi Karya Dono Purwoko 4 Tahun Penjara
Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut Dono Purwoko dengan hukuman 4 tahun penjara.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut Dono Purwoko dengan hukuman 4 tahun penjara.
Jaksa menilai mantan Kepala Divisi Konstruksi VI PT Adhi Karya (Persero) itu melakukan korupsi pembangunan gedung kampus Institut Pemerintahan Dalam negeri (IPDN) Provinsi Sulawesi Utara tahun anggaran 2011 sehingga merugikan negara senilai Rp 19,749 miliar.
Dono dinilai terbukti melakukan dakwaan alternatif pertama yaitu Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
"Menuntut, supaya majelis hakim menyatakan terdakwa Dono Purwoko telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan menjatuhkan pidana terhadap terdakwa berupa penjara selama empat tahun ditambah denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan," ucap jaksa di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (1/8/2022).
Baca juga: Setor Rp14,5 M Uang Pengganti Juliari Batubara ke Kas Negara, KPK: Lunasi dengan Cara Cicil 3 Kali
Untuk hal memberatkan, jaksa menyebut Dono tidak mendukung program pemerintah dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dari kolusi, korupsi, dan nepotisme serta merugikan keuangan negara atau daerah.
Sementara hal meringankan, Dono dinilai tidak menikmati hasil kejahatan secara langsung dan belum pernah dihukum.
Dalam perkara ini, jaksa KPK tidak membebankan Dono untuk membayar uang pengganti.
Penuntut umum juga menyebut PT Adhi Karya telah menitipkan uang senilai Rp5 miliar pada 18 Februari 2022 yang nantinya akan diperhitungkan sebagai pembayaran kerugian negara.
Perbuatan Dono, menurut jaksa memperkaya orang lain yaitu Dudy Jocom selaku Pejabat Pembuat Komitmen pada Satuan Kerja Sekretariat Jenderal Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) tahun anggaran 2011 sebesar Rp3,5 miliar; konsultan perencana PT Bita Enercon Engineering Torret Koesbiantoro sebesar Rp275 juta, konsultan manajemen konstruksi PT Artefak Arkindo Djoko Santoso sebesar Rp150 juta serta korporasi PT Adhi Karya sebesar Rp15,824 miliar.
Baca juga: KPK Sebut Pengembalian Uang dari Presenter Brigita Manohara Tak Setop Unsur Pidananya
Pagu anggaran gedung kampus IPDN Minahasa Sulut Tahun Anggaran 2011 adalah sebesar Rp127,834 miliar.
Setelah PT Adhi Karya dinyatakan lolos tahap pra kualifikasi pada Juni 2011, staf pemasaran perusahaan tersebut yaitu Ari Prijo Widagdo bertemu dengan perwakilan PT Waskita Karya dan PT Hutama Karya.
Dalam pertemuan itu disepakati PT Adhi Karya mengerjakan kampus IPDN di Sulut, PT Waskita Karya untuk kampus IPDN di Gowa, Sulawesi Selatan dan PT Hutama Karya mengerjakan di Agam, Sumatera Barat dan Rokan Hilir, Riau.
Selanjutnya dibuat dokumen penawaran sebagai perusahaan pendamping.
PT Adhi Karya lalu ditetapkan sebagai pemenang tender dengan nilai penawaran Rp124,191 miliar oleh Menteri Dalam Negeri saat itu Gamawan Fauzi pada 13 September 2011.
Selanjutnya Dono mengganti personil tim inti tanpa persetujuan tertulis, mengalihkan pekerjaan ke pihak lain (subkontraktor) tanpa izin tertulis Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), mengajukan permohonan pembayaran pekerjaan tidak sesuai prestasi fisik pekerjaan dan hasil pekerjaan fisik tidak memenuhi volume dan spesifikasi kontrak.
Baca juga: Kasus Korupsi Proyek Fiktif, KPK Periksa Sejumlah Pegawai BUMN Amarta Karya
Dono juga setuju memberi commitment fee kepada pihak-pihak terkait yaitu Rp3,5 miliar untuk Dudy Jocom, Rp275 juta untuk Torret Koesbiantor dan Rp150 juta untuk Djoko Santoso.
PT Adhi Karya lalu menerima pembayaran seluruhnya sebesar Rp125,191 miliar yang setelah dipotong pajak total pembayaran bersih adalah Rp109,514 miliar sedangkan total biaya yang digunakan PT Adhi Karya untuk IPD Sulut tahun anggaran 2011 adalah Rp89,764 miliar sehingga uang sebesar Rp19,749 miliar tidak bisa dipertanggungjawabkan penggunaannya.
Sidang dilanjutkan dengan agenda pembacaan nota pembelaan pada 8 Agustus 2022 sedangkan vonis akan dibacakan pada 11 Agustus 2022.