Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

ICW Catat 5 Poin Upaya Pelemahan Pemberantasan Korupsi Melalui RKUHP

ICW menyatakan melalui Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), pemerintah seakan-akan ingin melemahkan upaya pemberantasan korupsi.

Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Adi Suhendi
zoom-in ICW Catat 5 Poin Upaya Pelemahan Pemberantasan Korupsi Melalui RKUHP
Tribunnews.com/ Fransiskus Adhiyuda
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana membeberkan lima poin terkait pelemahan sistematis terhadap penegakan hukum pemberantasan korupsi yang tertuang dalam naskah RKUHP. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan melalui Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), pemerintah seakan-akan ingin melemahkan upaya pemberantasan korupsi.

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengungkap lima poin terkait pelemahan sistematis terhadap penegakan hukum pemberantasan korupsi yang tertuang dalam naskah RKUHP.




Pertama, hukuman pelaku korupsi dikurangi.

ICW menyatakan mayoritas pasal yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi, hukuman pokok berupa pidana badan dan denda dikurangi.

Menurut dia, dalam Pasal 607 RKUHP yang merupakan bentuk baru dari Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor.

"Aturan ini ternyata memuat penurunan pidana badan dari 4 tahun, menjadi 2 tahun penjara. Tidak cukup itu, denda minimalnya pun serupa, turun dari Rp 200 juta menjadi hanya Rp 10 juta," kata Kurnia Ramadhana dalam keterangan yang diterima, Selasa (2/8/2024).

Baca juga: Pastikan Publik Setuju, Presiden Minta Kabinetnya Sosialisasikan RKUHP

BERITA TERKAIT

Kemudian, ICW menyoroti Pasal 608 RKUHP yang merupakan bentuk baru dari Pasal 3 UU Tipikor.

Menurut ICW, sekalipun pidana badan mengalami kenaikan dari 1 tahun menjadi 2 tahun penjara, tapi tidak sebanding dengan subjek hukum pelaku, yakni pejabat publik.

"Ini sekaligus upaya menyamakan hukuman antara masyarakat dengan seorang yang memiliki jabatan publik tertentu," katanya.

Pasal selanjutnya yang disorot ialah Pasal 610 ayat (2) RKUHP yang merupakan bentuk baru dari Pasal 11 UU Tipikor.

Sejumlah mahasiswa melakukan aksi demonstrasi di kawasan Patung Kuda, Monas, Jakarta Pusat, Selasa (21/6/2022). Dalam aksinya, mereka menolak draf RKUHP yang memuat pasal-pasal problematika berupa living law, soal pidana mati, contempt of court, penyerangan harkat dan martabat presiden, aborsi, hate speech, kohabitasi, pidana untuk demonstrasi tanpa pemberitahuan, hingga penghinaan terhadap penguasa. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Sejumlah mahasiswa melakukan aksi demonstrasi di kawasan Patung Kuda, Monas, Jakarta Pusat, Selasa (21/6/2022). Dalam aksinya, mereka menolak draf RKUHP yang memuat pasal-pasal problematika berupa living law, soal pidana mati, contempt of court, penyerangan harkat dan martabat presiden, aborsi, hate speech, kohabitasi, pidana untuk demonstrasi tanpa pemberitahuan, hingga penghinaan terhadap penguasa. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN (TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN)

"Hampir serupa dengan ketentuan lain, hukuman yang ditujukan kepada penerima suap ini pun mengalami penurunan, dari 5 tahun menjadi 4 tahun penjara. Untuk hukuman pokok lain, seperti denda juga menurun, dari Rp 250 juta menjadi Rp 200 juta," ujar Kurnia.

Baca juga: Perguruan Tinggi Diminta Aktif Beri Masukan Pemerintah Soal RKUHP

Spesifik menyangkut hukuman denda, disampaikan Kurnia, bahwa salah satu pidana pokok tersebut masih terbilang rendah di dalam naskah RKUHP.

Ia mengatakan denda maksimal yang bisa dijatuhkan kepada pelaku hanya Rp 2 miliar.

Hal itu, menurut ICW, berbeda jauh dengan UU tindak pidana khusus lain, seperti UU Narkotika atau UU Anti Pencucian Uang yang dendanya bisa mencapai Rp 10 miliar.

"Berpijak pada latar belakang korupsi sebagai kejahatan ekonomi, mestinya pidana denda dapat ditingkatkan," kata Kurnia.

Kedua, parsial memberatkan hukuman.

Mengutip data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ICW menyebutkan tindak pidana suap mendominasi penanganan perkara di lembaga antirasuah itu selama lebih dari lima belas tahun terakhir (791 perkara).

ICW menilai praktik suap menyuap masih terus merajarela di Indonesia.

Maka dari itu, dikatakan Kurnia, salah satu bentuk evaluasi atas kondisi tersebut dapat ditempuh melalui perbaikan regulasi dalam UU Tipikor.

Baca juga: Dewan Pers Sebut RKUHP Intervensi Sangat Serius Terhadap Kemandirian Pers

"Sebab, bukan tidak mungkin maraknya praktik suap-menyuap dikarenakan sanksi pemidanaan yang terbilang rendah sehingga tidak menghadirkan pemberian efek jera kepada pelaku," katanya.

Hanya saja, menurut ICW, dalam naskah RKUHP, khususnya pasal yang berkaitan dengan pemberi suap, misalnya Pasal 610 ayat (1) masih mengikuti ketentuan lama, tanpa disertai pemberatan, yakni maksimal hanya 3 tahun penjara.

"Ini menandakan pembentuk UU tetap mengikuti pola lama tanpa ada reformulasi yang berorientasi pada pemberian efek jera," ujar Kurnia.

Ketiga, bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi.

ICW mengkritik aturan soal penghitungan kerugian keuangan negara yang dinilai bertentangan dengan putusan MK.

Pada bagian penjelasan Pasal 607 RKUHP, Kurnia menyampaikan, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “merugikan keuangan negara” adalah berdasarkan hasil pemeriksaan lembaga negara audit keuangan.

"Merujuk pada definisi itu, maka menurut pembentuk UU, pihak yang berwenang menghitung kerugian keuangan negara hanya Badan Pemeriksa Keuangan," katanya.

"Jelas pembatasan aspek tersebut bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-X/2012. Bagaimana tidak, Mahkamah dalam pertimbangannya telah menegaskan bahwa aparat penegak hukum bukan hanya dapat berkoordinasi dengan BPKP dan BPK saat menghitung kerugian keuangan negara, melainkan juga dengan instansi lain, bahkan juga bisa membuktikan sendiri di luar temuan lembaga negara tersebut," imbuhnya.

Dengan dasar putusan tersebut, ICW melihat RKUHP bertentangan dengan putusan MK.

Keempat, korupsi tidak lagi kejahatan luar biasa.

Dalam banyak literatur, disebutkan ICW, bahwa korupsi dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime).

Akibat penyebutan itu, maka ditemukan sejumlah penyimpangan dari regulasi umum, satu di antaranya adalah pengaturan sanksi pidana minimum-maksimum di dalam UU Tipikor.

"Sayangnya, ketentuan itu dihilangkan dari RKUHP, misalnya, Pasal 610 ayat (2) terkait tindak pidana suap. Atas kondisi substansi aturan semacam ini, bukan tidak mungkin hakim dapat memanfaatkan diskresinya secara berlebihan guna menghukum ringan para pelaku," kata Kurnia.

Kelima, mengkriminalisasi kritik masyarakat dalam persidangan perkara korupsi.

ICW menyatakan, proses persidangan perkara korupsi belum banyak memberikan efek jera maksimal kepada pelaku.

Alih-alih menghukum berat, berdasarkan catatan ICW, rata-rata hukuman pelaku pada tahun 2021 hanya 3 tahun 5 bulan penjara.

Belum lagi ditambah dengan sejumlah putusan ganjil, mulai dari Juliari P Batubara, Pinangki Sirna Malasari, Nurhadi, hingga Edhy Prabowo.

Kondisi itu, menurut ICW, memantik kritik masif dari masyarakat yang menginginkan adanya hukuman yang menjerakan pelaku.

"Sayangnya, naskah RKUHP justru ingin mereduksi kritik masyarakat dengan turut menyertakan ancaman pidana. Poin ini tertuang secara jelas dalam Pasal 280 huruf b RKUHP," kata Kurnia.

Jika ketentuan ini diundangkan, ICW menilai bukan tidak mungkin masyarakat yang kemudian melancarkan kritik dapat diproses secara hukum.

Maka dari itu, ICW berkesimpulan bahwa substansi RKUHP bernuansa anti terhadap kritik dan melemahkan aspek partisipasi masyarakat.

"Maka dari itu, berangkat dari permasalahan-permasalahan di atas, ICW mendesak agar pemerintah dan DPR segera mengeluarkan delik-delik korupsi dari RKUHP kemudian merevisi UU Tipikor," kata Kurnia.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di

Wiki Populer

© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas