Komnas Perempuan Angkat Suara Soal Kasus Dugaan Pemaksaan Jilbab yang Marak di Sekolah
Belakangan viral kasus dugaan pemaksaan jilbab di SMA Negeri di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Penulis: Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor: Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Belakangan viral kasus dugaan pemaksaan jilbab di SMA Negeri di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kasus ini mencuat dan jadi sorotan publik setelah seorang siswi mengaku dipaksa guru bimbingan konseling.
Dalam pengakuannya, pemaksaan itu terjadi saat Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS).
Imbas dari pemaksaan jilbab, dia pun mengalami depresi hingga ingin pindah ke sekolah lain.
Kasus pemaksaan jilbab di sekolah negeri bukan yang pertama.
Pada Januari 2021 lalu, di Sumatera Barat terjadi kasus serupa. Puluhan siswi non muslim, dipaksa menggunakan jilbab di institusi pendidikan.
Menurut Koordinator Gugus Kerja Perempuan dan Kebhinnekaan Komnas Perempuan Dahlia Madanih, kasus pemaksaan jilbab di sekolah negeri merupakan tindakan diskriminatif.
Pasalnya, sekolah negeri, yang dibiayai oleh negera seyogianya mencabut undang-undang, peraturan kebijakan, dan praktek yang mengandung diskriminasi terhadap perempuan.
“Terdapat banyak pola pelanggaran hak kebijakan busana. Kewajiban busana berdasarkan ajaran agama tertentu, misalnya kewajiban menggunakan Kerudung atau simbol agama itu diskriminatif,” kata Dahlia dalam keterangan yang diterima, Rabu (10/8/2022).
Dalam laporan Komnas Perempuan yang dirilis pada 2016, ada 421 peraturan daerah (Perda) diskriminatif di lembaga publik, baik di lembaga pemerintahan atau pun institusi pendidikan, yang membidik kelompok minoritas dan perempuan.
Menurutnya, ada 62 kebijakan daerah yang memuat aturan busana yang melanggar. Ini mengadopsi interpretasi tunggal dari simbol agama mayoritas.
Baca juga: Dugaan Pemaksaan Penggunaan Jilbab di Bantul Belum Selesai, Begini Kata Pemda DIY
“Kebijakan ini menelan banyak korban; dari anak sekolah, PNS dan masyarakat umum. Yang jadi korban diskriminasi. Jika menolak, maka dia akan berhadapan dengan sanksi sosial. Bagi PNS yang busana ajaran agama, akan dipermalukan didepan umum,” ucap Dahlia.
Karena itu, kata Dahlia, Komnas Perempuan mendesak Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pendidikan, dan Kementerian Agama untuk merespons kasus pemaksaan busana keagamaan di sekolah secara massif dan sistemik.
“Kami meminta sekolah yang malarang dan meminta dengan ajaran agama, harus ditinjau ulang. Itu melanggar,” tuturnya.
Maraknya Perda Syariah di Indonesia
Sementara itu, tren Perda Syariah di Indonesia kian tahun kian meningkat. Peneliti kebijakan publik Robby Kurniawan, mengatakan sejak tahun 1998 sampai 2014 sebanyak 443 perda syariah telah terbit di Indonesia.
“Data itu sebagaimana diungkapkan oleh Michael Buehler dalam buku Politics of Shari'a Law. Angka itu akan terus bertambah,” katanya.
Baca juga: Buntut Dugaan Pemaksaan Penggunaan Jilbab, Pemkot Yogyakarta Ingatkan Sekolah Terkait Seragam
Lebih Lanjut, Robby Kurniawan menjelaskan alasan terjadi peningkatan jumlah Perda Syariah di Indonesia. Menurutnya ada tiga faktor signifikan penyebab maraknya Perda Syariah yang tersebar dari Aceh hingga Papua.
Pertama, kekuasaan di daerah. Pasalnya, Perda syariah tidak bisa dinafikan dari peran kekuasaan di daerah.