Komnas HAM: Jalannya Sidang HAM Berat Paniai Tergantung Kualitas Kesaksian dan Kehadiran Saksi
Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM RI Amiruddin Al Rahab menyoroti terkait perlindungan saksi dalam pengadilan HAM berat kasus Paniai
Penulis: Gita Irawan
Editor: Wahyu Aji
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM RI Amiruddin Al Rahab menyoroti terkait perlindungan saksi dalam pengadilan HAM berat kasus Paniai yang akan berlangsung di Makassar.
Ia mengatakan jika ada pihak yang mengatakan kehadiran saksi bisa melalui teleconference, maka persoalannya adalah apakah kesaksian itu cukup.
Selain itu tantangan lainnya, kata dia, bagaimana seorang saksi bisa nyaman menyampaikan kesaksian melalui teleconference.
Kedua, menjadi tantangan LPSK untuk menghadirkan saksi di pengadilan mengingat karena antara tempat terjadinya peristiwa dengan pengadilannya berjarak jauh.
Tantangan tersebut, kata dia, perlu diatasi agar korban yang akan bersaksi atau saksi itu sendiri tidak terbebani secara psikologis untuk menghadiri panggilan majelis hakim.
Beban yang dimaksud Amiruddin di antaranya terkait ongkos, penginapan, dan keselamatan hingga kembali ke rumah.
Hal tersebut disampaikannya dalam diskusi publik bertajuk Perlindungan Saksi dan Korban di Pengadilan HAM Peristiwa Paniai pada Kamis (18/8/2022) di sebuah hotel Jakarta Pusat.
"Jadi karena dua hal inilah saya mengatakan mata kita perlu secara bersama-sama kita tujukan ke proses pengadilan. Kenapa? Karena jalannya ini dianggap fair atau tidak nanti tergantung dari kualitas kesaksian dan kehadiran saksi secara maksimal," kata Amiruddin.
Selain itu, menurutnya dalam konteks hak asasi manusia, pengadilan hak asasi manusia kasus Paniai di Makassar harus mampu memulihkan harkat dan martabat masyarakat sebagai manusia.
Baca juga: Keluarga Korban Paniai Tolak Saksikan Pengadilan HAM di Makassar Karena Tersangka Cuma 1 Orang
Hal tersebut, kata dia, sejalan dengan UU 26/2000 tentang pengadilan HAM yang tujuan utamanya adalah memulihkan harkat dan martabat manusia Republik Indonesia yang menjadi korban dalam satu peristiwa yang disebut pelanggaran berat hak asasi manusia.
Dengan demikian, kata dia, pengadilan HAM berat kasus Paniai bukan sekadar memutuskan vonis kepada seseorang, tetapi juga mengembalikan dan pemulihan pada harkat dan martabat manusia mereka yang menjadi korban.
"Kalau kejahatan yang sangat serius ini disikapi biasa-biasa saja kita akan menjadi permisif terhadap kejahatan-kejahatan yang lainnya," kata Amiruddin.
"Jadi kebutuhan kita terhadap kualitas perlindungan saksi di pengadilan hak asasi manusia sesungguhnya adalah untuk membuat pengadilan ini bisa berjalan secara fair dalam rangka mengembalikan harkat dan martabat manusia republik ini," kata dia.