Siap! Dilema Hukum Perintah Sambo
Apakah mereka yang menjalankan perintah atasan juga dapat dikenakan dengan pasal yang sama dengan komandannya yang memerintahkan kepadanya?
Editor: cecep burdansyah
Oleh Wina Armada Sukardi
Advokat
SEJAK awal kasus Ferdy Sambo mencuat, telah terjadi perdebatan, setidaknya pertanyaan: apakah seorang bawahan polisi yang mengerjakan perintah atasannya, padahal perintah tersebut melanggar tindak pidana, dapat dihukum atau tidak?
Beberapa anak buah Ferdy Sambo yang telah ditetapkan sebagai tersangka, seperti Bharada Richard Eliezer (dalam berita kebanyakan disebut sebagai Bharada E), mengaku perbuatannya ikut dugaan menghilangkan nyawa rekan sesama ajudan Sambo, Joshua, lantaran melaksanakan perintah dari atasannya, yakni perintah Sambo.
Dari sana muncul pertanyaan dan perdebatan, apakah seorang polisi yang menjalankan perintah atasan yang melanggar hukum seperti Eliezer dapat juga dikenakan hukum “turut serta” melakukan tindak pidana (dalam hal ini menghilangkan nyawa orang atau membunuh) sesuai dengan yang diatur KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana)?
Lebih jauh lagi pertanyaannya, apakah mereka yang menjalankan perintah atasan juga dapat dikenakan dengan pasal yang sama dengan komandannya yang memerintahkan kepadanya?
Overmacht
Terhadap persoalan ini, kita harus menengok ke pasal 48 dan pasal 49 KUHP yang mengatur soal daya paksa dan bela paksa. Jika memenuhi syarat pasal ini, orang yang melakukan tindak pidana, tidak dapat dihukum.
Dalam KUHP diatur soal perbuatan terpaksa (daya paksa), atau dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah overmacht. Pengertian singkat _overmacht, orang yang melakukan perbuatan terpaksa, walaupun jelas telah melanggar undang-undang, namun tidak dapat dihukum.
Pasal 48 KUHP berbunyi, “Barangsiapa melakukan perbuatan karena terpaksa oleh sesuatu kekuasaan yang tidak dapat dihindari tidak boleh dihukum.”
Absolut dan Relatif
Menurut ahli hukum pidana J.E. Jonkers, overmacht dapat dibagi dalam tiga katagori. Pertama, _overmacht absolut. _ Artinya, orang yang melakukan perbuatan ini, tidak punya alternatif lain, dan mau tidak mau, suka atau tidak suka, tidak punya opsi lain, untuk melakukannya. Jadi, kekuasaan yang memaksanya bersifat absolut.
Contoh sederhana. Tubuh seseorang dipegang dan dicengkram oleh orang lain yang tenaga nya jauh lebih kuat. Lantas, oleh orang yang memegang, tangan orang yang dipegang diayunkan ke kaca rumah orang lain yang mahal. Sampai kacanya pecah.
Faktanya tangan orang yang dipaksa itulah yang merusak kaca. Perbuatan merusak kaca rumah orang itu sebenarnya termasuk perbuatan tindak pidana, namun karena yang orang yang tangannya mengenai kaca tidak mempunyai alternatif untuk menghindari, dia tidak dapat dihukum. Perbuatan memecahkan kaca, walaupun memakai tangannya, bukan kehendaknya, melainkan karena sesuatu kekuatan atau kekuasaan yang berada di luar kendalinya sama sekali yang tidak dapat dielakkan. Itulah *overmacht absolut.*
Kedua, *overmacht relatif.* Pada kasus ini, orang yang mengalami pemaksaan masih memiliki opsi tidak melaksanakan paksaan. Dengan kata lain, paksaannya masih bersifat relatif.
Contoh, ada orang ditodong pistol, disuruh membakar rumah. Kalau dia tidak mau membakar rumah, kepalanya bakal ditembak. Di sini orang tersebut mempunyai dua kepentingan hukum yang berbeda yang dilematis. Kepentingan hukum untuk melindungi diri sendiri agar nyawanya tidak melayang, dan kepentingan hukum orang lain yang rumahnya tidak boleh dibakar.
Jika lantas dia lebih memilih kepentingan hukum diri sendiri dengan melindungi nyawanya sendiri dan terpaksa memilih opsi membakar rumah yang diperintahkan kepadanya, secara hukum pidana dalam keadaan normal, dia termasuk melakukan tindak pidana dan harus dihukum. Meski begitu, dalam kasus ini karena tindakannya merupakan tindakan terpaksa yang sulit dihindari, dia juga tidak dapat dihukum.