Pakar Hukum Tata Negara Soroti RKUHP Masih Kental Hukum Nuansa Belanda
(RKUHP) masih kental dengan hukum nuansa Belanda, sehingga tidak tepat jika digunakan dan diterapkan dalam konteks negara yang sudah merdeka.
Penulis: Mario Christian Sumampow
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari mengatakan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) masih kental dengan hukum nuansa Belanda, sehingga tidak tepat jika digunakan dan diterapkan dalam konteks negara yang sudah merdeka.
Bahkan, dari segi bahasa pun RKUHP saat ini masih menggunakan terjemahan dari para ahli, bukan terjemahan resmi negara.
Selain itu, pasal-pasal di dalam RKUHP juga masih berkaitan dengan aturan-aturan yang diterapkan di era pemerintahan Hindia Belanda.
“Asalnya KUHP masih berbahasa Belanda. Bahasa Indonesia yang kita gunakan adalah terjemahan ahli, bukan terjemahan resmi negara,” ujar Feri dalam diskusi daring bertajuk Aspirasi Politisi Muda tentang RKUHP, Sabtu (3/9/2022).
Feri mengambil contoh terkait pasal penghinaan presiden dalam RKUHP. Pasal ini menurutnya sama dengan pasal di era Hindia Belanda yang tujuan dibuatnya supaya pribumi tidak menghina orang-orang Belanda yang memimpin daerah jajahannya.
“RKUHP ada pasal yang berkaitan dengan dengan penghinaan presiden dan penyelenggara atau pejabat penyelenggara negara umum. Logikanya kan sama dengan apa yang dilakukan Belanda. Karena dulu kita dilarang sebagai pribumi menghina ratu Belanda, dilarang menghina gubernur jenderal yang berkuasa di Hindia Belanda.” jelas Feri.
Baca juga: Wamenkumham Pastikan RKUHP Bisa Jadi Solusi untuk Selesaikan Masalah Kelebihan Kapasitas Lapas
“Nah konsep itu sepertinya masih ada di dalam RKUHP edisi terakhir dan menurut saya nuansa Belandanya sangat terang benderang,” tambahnya.
Lebih lanjut Feri menjelaskan, KUHP dari era penjajahan Hindia Belanda ini lebih mengedepankan sistem parlementer. Tidak tepat menurutnya jika diterapkan di Indonesia yang lebih mengedapankan sistem presidensial.