Pengamat UI: Era Teknologi Informasi, Penggalangan Dana Kelompok Teroris Ikutan Berkamuflase
Masyarakat diminta untuk lebih kritis dan waspada saat menyalurkan donasi ke lembaga filantropi.
Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Muhammad Zulfikar
Laporan wartawan tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Masyarakat diminta untuk lebih kritis dan waspada saat menyalurkan donasi ke lembaga filantropi.
Mengingat, belakangan mencuat dugaan penyimpangan dana donasi disalurkan ke kelompok teroris yang telah diungkap kepolisian.
Kepala Pusat Riset Ilmu Kepolisian dan Kajian Terorisme Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia (UI), Sapto Priyanto mengatakan dengan berkembangnya teknologi informasi, kelompok teroris berkamuflase dengan membuat yayasan anak yatim sebagai kedok untuk mengumpulkan dana dari media sosia.
Baca juga: Orangtua Terduga Teroris yang Ditangkap di Bali Jemput Menantu dan Cucunya di Lumajang
"Dengan zaman perkembangan internet ke sini dia (kelompok teroris) berkamuflase membuat yayasan anak yatim untuk melakukan pengumpulan dana, dari medsos segala macam," kata Sapto dalam diskusi 'Edukasi Pencegahan Pendanaan Terorisme Melalui Lembaga Filantropi Keagamaan di Indonesia', di Jakarta, ditulis Jumat (9/9/2022).
"Mereka tahu bahwa orang Indonesia itu dermawan, sehingga mereka mudah membuat donasi-donasi," terang dia.
Ia menyebut perubahan metode pengumpulan dana kelompok teroris juga diterapkan oleh Jamaah Islamiyah (JI), utamanya semasa dipimpin Para Wijayanto, yang ditangkap polisi pada 2019 lalu.
"Inilah yang akhirnya membuat orang-orang yang dipimpin Para berkembang, terkait pendanaan," ujarnya.
Sementara itu, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sendiri mengaku cukup kesulitan mengakses seluruh transaksi keuangan yang ada pada lembaga filantropi, khususnya sebelum terjadi masalah.
Baca juga: Bharada E Pernah Patroli Pengejaran Teroris di Poso, LPSK: Tapi Tak Pernah Tembak Orang
Sebab jika ada permintaan ketika tak terjadi masalah, hal tersebut justru dianggap sebuah intervensi terhadap lembaga sosial.
"Jadi kalau ada permintaan-permintaan itu dianggap sebagai intervensi. Ketika pas jadi kasus baru menyadari," kata Direktur Hukum dan Regulasi PPATK Fithriadi Muslim.