Koalisi Masyarakat Soroti Kejanggalan Dakwaan dan Keamanan dalam Pengadilan HAM Paniai
Secara logika, kata Koalisi, penanggung jawab komando bertanggungjawab atas kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh bawahannya.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Malvyandie Haryadi
Secara logika, kata Koalisi, penanggung jawab komando bertanggungjawab atas kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh bawahannya.
Koalisi mengingatkan bahwa konteks pertanggungjawaban komando tidaklah berhenti pada orang yang memberikan perintah saja, akan tetapi juga termasuk pertanggungjawaban atasan yang tidak mencegah atau menghentikan tindakan pelanggaran HAM yang berat atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sebagaimana Pasal 42 UU Pengadilan HAM.
"Oleh karena itu sudah sepatutnya dakwaan tidak hanya menyasar IS sebagai Perwira Penghubung tetapi juga menyasar pada atasan yang dalam hal ini telah diduga tidak mencegah atau menghentikan dan menyerahkan pelaku kepada pihak berwajib," kata Koalisi.
Pada titik ini, lanjut Koalisi, jaksa tidak boleh terkesan melindungi pelaku dengan tidak menuntut pelaku yang jelas sangat potensial melanggar HAM.
Menurut Koalisi sudah sepatutnya jaksa turut menuntut pimpinan TNI yang bertanggungjawab dan kepala Operasi Aman Matoa V sebagaimana juga terang dijelaskan dalam laporan penyelidikan Komnas HAM.
Lebih dari itu, menurut Koalisi, seharusnya penuntut memulai dengan membuktikan pelaku lapangan telah melakukan kejahatan kemanusiaan.
Hal tersebut menurut Koalisi penting untuk mengurai unsur-unsur sistematik dan meluas sebagai unsur penting yang membedakan antara tindak pidana biasa dengan tindak pidana kejahatan kemanusiaan.
"Untuk menilai tindakan komandan sebagai pemegang komando dapat bertanggung jawab dalam sebuah tindak pidana kejahatan kemanusiaan adalah ketika tindakan-tindakan prajurit (pelaku lapangan) telah memenuhi unsur-unsur kejahatan kemunsiaan, khususnya unsur sistematik atau meluas," kata Koalisi.
Kedua, Koalisi mengingatkan kembali pernyataan Komnas HAM yang pernah mengangkat adanya obstruction of justice untuk dapat menjerat pertanggungjawaban pidana yang melibatkan pejabat TNI di atas Terdakwa IS.
Koalisi juga mempertanyakan mengapa tindak pidana perintangan keadilan ini luput dari proses hukum saat ini.
"Dengan dasar itu, Koalisi menilai, dakwaan Kejaksaan Agung telah mengaburkan konstruksi hukum kejahatan terhadap kemanusiaan di kasus ini, salah satunya dengan hanya menetapkan IS sebagai satu-satunya terdakwa yang bahkan akan merugikan hak asasi dirinya karena bisa saja sebatas dijadikan 'kambing hitam'," kata Koalisi.
Ketiga, walaupun menghormati bahwa tidak ditahannya Terdakwa memang merupakan diskresi penegak hukum (Penyidik/Penuntut/Majelis Hakim) di tingkat pemeriksaannya masing-masing, Koalisi menyayangkan efek dari keputusan ini.
Memang di satu sisi, lanjut Koalisi, menggunakan seminimal mungkin upaya paksa seperti penahanan adalah peradilan yang baik.
Namun di sisi lain, kata Koalisi, masyarakat Indonesia dapat melihat bahwa pada kenyataannya penahanan lebih sering diberikan kepada Tersangka/Terdakwa yang berasal dari kalangan masyarakat kecil dengan tindak pidana yang lebih sederhana daripada kejahatan terhadap kemanusiaan.