Pakar Psikologi Forensik Soroti Soal Sakit dalam Kasus Hukum Gubernur, Wanita Emas, hingga Polisi
Sebut saja mulai kepala daerah, LE; Wanita emas berinisial MHM; dan seorang perwira menengah Polri AKBP AR.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Setidaknya ada tiga kasus hukum Dalam pekan ini yang orang-orang terkait di dalamnya disebut-sebut sakit.
Sebut saja mulai kepala daerah, LE; Wanita emas berinisial MHM; dan seorang perwira menengah Polri AKBP AR.
Menurut pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel, berdasar informasi yang didapat, LE, kata dokternya, stroke sejak 2015.
Lalu bagaimana kebijakan-kebijakan yang dia hasilkan sebagai kepala daerah?
"Coba cek ulang hasil pemeriksaan RSUD Dok II Jayapura tanggal 11 Januari 2018, lalu periksa rekomendasi KPU Papua berdasarkan hasil cek medis LE itu. Kalau LE saat itu sudah diketahui mengalami stroke, apalagi sampai tidak bisa bicara, RSUD dan KPU patut dimintai pertanggungjawabannya," ujar Reza dalam keterangan yang diterima, Sabtu (24/9/2022).
Terkait MHM, menurut Reza, Kejaksaan Agung sudah paten betul. Tidak gampang percaya pada klaim sakit.
"Semoga JPU nantinya akan menjadikan malingering-nya MHM sebagai alasan untuk menuntut MHM dengan hukuman lebih berat lagi."
Baca juga: Andi Arief Ungkap Utusan Jokowi Temui Gubernur Lukas Enembe Sebelum Ditetapkan KPK sebagai Tersangka
Selanjutnya kasus yang melibatkan perwira Polri AKBP R yang merupakan saksi dalam kasus Brigjen HK, anak buah Ferdy Sambo.
"Kalau AKBP AR disebut sebagai saksi kunci, sebenarnya apa maknanya? Apakah sebagai saksi yang sangat potensial membuktikan kesalahan Brigjen H? Atau justru sebagai saksi yang akan meringankan Brigjen H?" tanyanya.
Menurutnya, kalau AKBP AR adalah saksi kunci yang meringankan, maka sidang etik nantinya bisa saja menghasilkan putusan antiklimaks atas diri Brigjen HK.
Bahkan berikutnya mungkin juga berdampak terhadap Ferdy Sambo. Itu semua kontras tajam dengan prediksi dan ekspektasi masyarakat.
"Sisi lain, AKBP AR disebut-sebut sedang sakit serius. Maaf kata; karena belum lama ini masyarakat juga disodori simpulan Komnas HAM dan Komnas Perempuan bahwa PC diduga kuat mengalami kekerasan seksual dan menderita guncangan jiwa, maka masuk akal kalau sekarang masyarakat juga bertanya-tanya ihwal kebenaran sakitnya AKBP AR," ujarnya.
Ia menambahkan, sakitnya AKBP AR tidak berada dalam konteks klinis, melainkan dalam konteks forensik.
Artinya, kepentingan publik bukan pada sembuh atau sakitnya AKBP AR, melainkan pada seberapa jauh kondisi AKBP AR itu berpengaruh terhadap berlanjut atau mandeknya proses hukum Brigjen HK dan AKBP AR sendiri.
"Jadi, ini merupakan isu publik, bukan isu tentang kerahasiaan medis pribadi."
Karena itu, Polri perlu sampaikan ke publik:
1) AKBP sakit apa, seserius apa kondisinya, dan apakah penyakitnya muncul alami atau karena diinduksi,
2) Polri sudah atau belum libatkan dokter lain untuk kasih second opinion,
3) Penjelasan tentang nasib kasus Brigjen HK jika AKBP tak kunjung bisa dihadirkan di persidangan.