BLT Minyak Goreng Imbas Lonjakan Harga CPO, Bukan Kerugian Negara
Kasus dugaan korupsi pemberian izin ekspor Crude Palm Oil/Minyak Sawit (CPO) di Pengadilan Tipikor Jakarta, merembet ke persoalan pemberian bantuan
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Wahyu Aji
Seperti diketahui, Kementerian Keuangan sendiri memutuskan untuk menambah jumlah penerima BLT minyak goreng menjadi 20,65 juta dari sebelumnya 20,5 juta penerima.
Adapun penerima 20,65 juta ini berasal dari data termutakhir penerima Program Keluarga Harapan (PKH) dan bansos pangan yang tercatat di Kementerian Sosial.
Selain dari yang terdaftar di Kemensos, BLT minyak goreng juga diberikan kepada Pedagang Kaki Lima Warung (PKLW) yang berjumlah 2,5 juta penerima. Sehingga total penerima BLT minyak goreng menjadi 23,25 juta orang.
Baca juga: Sidang Kasus Minyak Goreng: Saksi Akui HET Pemerintah Tak Bisa Imbangi Harga Keekonomian CPO
Adapun anggaran yang disiapkan sebesar Rp6,2 triliun untuk yang ada di bawah Kementerian Sosial dan Rp750 miliar untuk penerima PKLW. Dengan demikian total anggarannya menjadi Rp6,95 triliun.
Untuk penyaluran BLT minyak goreng kepada PKLW, pemerintah menugaskan TNI/Polri untuk melakukannya kepada seluruh daerah di Indonesia.
Menanggapi hal ini, Juniver Girsang, penasihat hukum Master Parulian Tumanggor, Komisaris Wilmar Nabati yang menjadi terdakwa dalam kasus ini, menyebutkan, kesaksian dari Mira ini jelas menegaskan tak ada kerugian negara dalam perkara yang membelit kliennya.
Dia menegaskan, sebaliknya kesaksian ini menegasikan dakwaan jaksa.
"Kesaksian ini jelas menegaskan, negara hadir bagi warganya yang membutuhkan bantuan, bagi fakir miskin juga tentunya. Yang juga kita cermati, bahwa kesaksian ini menegaskan tidak ada kerugian negara dalam perkara klien kami. Dan, tidak ada juga uang negara masuk ke pundi-pundi klien kami. Jelas ini menegasikan dakwaan JPU terhadap klien kami," ujar Juniver Girsang, usai persidangan.
Juniver menambahkan, dalam kasus justru kliennya merugi akibat kebijakan ekspor minyak sawit mentah sekaligus pemenuhan DMO. Nilai kerugian Wilmar Nabati dikalimnya sekira Rp1,5 triliun.
Kerugian ini didapat lantaran perusahaan dipaksa untuk menjual harga migor di bawah harga keekonomian, bahkan di bawah harga produksi.
"Dengan diterbitkannya kebijakan DMO (Domestic Market Obligation) ini, kami mengalami kerugian kurang lebih dari Rp1,5 triliun. Jadi, malahan terbalik, dalam hitungan kami sudah sampaikan dalam eksepsi, hitungannya detail secara ekonomi dan kemudian aktual. Bukan direka-reka," imbuhnya.
Untuk diketahui, di samping kerugian keuangan Negara, dalam kasus ini jaksa juga mendalilkan kerugian perekonomian negara sebesar Rp12,31 triliun yang juga diatribusi kepada tiga grup perusahaan dengan jumlah yang berbeda.
Nilai kerugian ini merupakan hasil kajian dari Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gajah Mada tanggal 15 Juli 2022 yang dihitung selama periode 15 Februari sampai30 Maret 2022.
"Pertanyaannya adalah sejauh mana validitas hasil kajian ini. Menarik untuk diuji di pengadilan, sebelum dijadikan referensi untuk menentukan kerugian perekonomian negara," kata Praktisi Hukum Hotman Sitorus beberapa waktu lalu.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.