Ombudsman Temukan Tiga Potensi Maladministrasi Kemenkes Kasus Gagal Ginjal Akut, Ini Penjelasannya
Ombudsman Republik Indonesia menemukan ada tiga potensi maladministrasi yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan.
Penulis: Naufal Lanten
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ombudsman Republik Indonesia menemukan ada tiga potensi maladministrasi yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan.
Temuan itu didapatkan dari penggalian informasi yang dilakukan oleh Ombudsman.
Hal itu disampaikan Anggota Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng dalam konferensi pers bertajuk Problem Layanan Kesehatan: Kasus Obat Sirup yang Mengancam Gagal Ginjal Akut pada Anak’ secara virtual, Selasa (25/10/2022).
“Jadi pada Kementerian Kesehatan kami temukan ada tiga potensi maldmunistrasi,” kata Robert Na Endi Jaweng.
Potensi maladministrasi pertama, kata dia, adalah data pokok terkait sebaran penyakit atau epidemiologi yang tidak valid dan komprehensif.
Data yang tidak valid ini menyebabkan Kemenkes cenderung tidak siap dalam memitigasi atau pencegahan kasus gagal ginjal akut ini.
“Jadi Kementerian Kesehatan sesungguhnya hingga Agustus kemarin masih belum mengerti tentang masalah yang ada masih belum punya data baru,” kata Robert.
Ia melanjutkan bahwa Kemenkes baru menyadari kejadian ini bersifat darurat setelah ada suplai data dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).
Kemudian setelah mendapatkan data tersebut, Kemenkes melakukan tracking terkait kasus gagal ginjal akut yang terjadi beberapa waktu ke belakang.
Sehingga, kata Robert, data-data yang ada pun cenderung belum bersifat akurat.
Baca juga: Sudah 143 Anak Meninggal, Kenapa Gangguan Ginjal Akut Belum Berstatus KLB? Begini Kata Kemenkes
“Jadi soal data pokok itu menjadi isu pertama yang meripkan bentuk maladmnisitrasi yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan,” ujarnya.
Potensi maladministrasi yang kedua, lanjut dia, dilihat Ombudsman RI karena cenderung seperti tidak mengerti masalah yang terjadi terkait kasus gagal ginjal akut ini. Hal itu lantaran data yang dimiliki pun cenderung tidak akurat.
Sehingga, Kemenkes tidak bisa memberikan informasi dan sosialisasi kepada masyarakat terkait gagal ginjal akut tersebut.
“Kami melihat, karena tidak mengertinya masalah yang ada. Tidak adanya data yang akurat, maka kemudian kemenkes tidak bisa memberikan informasi dan sosialisasi kepada masyarakat.”
Kemudian yang ketiga adalah ketiadaan standarisasi pencegahan dan penanganan kasus gagal ginjal akut ini. Hal ini, kata Robert, menjadi potensi maladministrasi lantaran membuat tidak terpenubinya standar pelayanan.
“Tidak memenuhi standar pelayanan publik sebagaimana yang ada dan ditetapkan termasuk dalam pemeriksaan laboratorium. Itu potensi maladmnisitrasi di Kementerian Kesehatan,” tuturnya.
Selain Kementerian Kesehatan, Ombudsman RI juga menemukan potensi maladministrasi di lembaga Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.